This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 09 September 2015

PERAN PEREMPUAN DALAM ERA OTONOMI DAERAH

Otonomi daerah sebagai perwujudan dari desentralisasi telah memberikan perubahan yang cukup positif pada penguatan peran Pemerintah Daerah. Akan tetapi, penguatan peran pada beberapa daerah tidak diikuti oleh penguatan peran perempuan pada daerah tersebut. Melalui UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women) atau biasa disingkat CEDAW melalui telah terlihat upaya dari pemerintah pusat untuk menghapuskan persoalan diskriminasi perempuan dalam berbagai ranah kehidupan. Upaya ini juga ditunjukkan dengan melahirkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang kebijakan pengarusutamaan gender. Akan tetapi jika hal itu tidak diiringi dengan perubahan paradigma berpikir masyarakat yang didominasi oleh cara berpikir “laki-laki”, maka kebijakan dan ratifikasi konvensi itu tinggallah menjadi catatan usang yang tidak mampu membuat perubahan sosial ke arah yang lebih baik dan lebih adil bagi sesama manusia. Pada umumnya peran perempuan dalam kehidupan social,ekonomi, politik dan kebijakan publik dalam ranah politik lokal masih banyak diwujudkan dengan menggunakan bahasa, pemikiran, dan kebudayaan yang maskulin, sebagai representasi dari budaya patriarki yang masih sangat melekat pada sebagian besar masyarakat di wilayah Indonesia. Dalam berbagai teks tertulis yang ada di beberapa daerah memang telah menunjukkan adanya upaya untuk melakukan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Akan tetapi, dalam implementasinya seringsekali kebijakan tersebut tidak seiring sejalan dengan apa yang telah tertulis. Belum lagi adanya Perda yang mengatur bagaimana seorang perempuan harus berpakaian seperti Perda No. 4 Tahun 2002 tentang Pakaian Dinas Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang mengatur bagaimana perempuan terutama PNS dan pelajar harus berpakaian. Dalam sebagian besar Perda-Perda yang berkaitan dengan partisipasi perempuan dalam politik dan kebijakan publik lokal dalam politik lokal bersifat netral gender. Dengan demikian, tidak serta merta perempuan dapat secara langsung duduk dalam wilayah publik, sebab sifat netral gender itu bukan berarti bebas nilai. Hal ini bahkan, terkait erat dengan nilai-nilai sosial budaya yang melingkupinya. Penyebabnya tidak lain karena adanya hegemoni patriarkal yang membidani lahirnya interpretasi bahasa yang bersifat maskulin. Keadaan ini yang menunjukkan bahwa Perda berikut keputusan para pengambil kebijakan di dalam politik lokal didominasi oleh bahasa maskulin sehingga kurang mampu mengakomodir kepentingan perempuan. Oleh karena itu, tidak mengagetkan apabila perempuan yang duduk dalam politik formal di daerah tidak terlalu merepresentasikan kebutuhan perempuan itu sendiri. Selain itu, adanya kecenderungan menguatnya kekuasan pada tingkat lokal yang mengabaikan berbagai kepentingan perempuan bukannya tidak beralasan. Seperti Hal itu dapat dilihat dengan munculnya sejumlah isu perempuan di daerah yang cenderung mendiskriminasikan perempuan. Isu kepemimpinan perempuan, jilbab dan pemisahan ruang publik berdasarkan gender, perempuan dan kesusilaan, perempuan dan tenaga kerja, perempuan dan pendapatan daerah, perempuan dan APBD, perempuan dan sumber daya alam, perempuan dan kesehatan reproduksi, perempuan dan adat, serta perempuan dan peraturan kepegawaian. Isu tersebut menunjukkan bahwa Perda-Perda berikut kebijakan publik yang diambil oleh para pengambil kebijakan di tingkat lokal belum sepenuhnya “ramah” terhadap kepentingan perempuan. Hal itu diperburuk oleh kuatnya hegemoni patriarkal yang ssangat mengakar di Indonesia dan pada akhirnya mengemuka dalam nilai-nilai budaya local dan pada akhirnya cenderung menutup ruang publik perempuan dalam politik lokal. Upaya yang dilakukan untuk mencari penyelesaian persoalan diskriminasi perempuan melalui pembuatan peraturan hukum merupakan ruang yang harus diisi oleh pegiat kesetaraan gender agar tercipta kesetaraan gender dan tidak kembali ke arah praktik yang merugikan perempuan. Oleh karena itu, dekonstruksi atas teks berikut interpretasi Perda yang hidup dalam hegemoni budaya patriarkal merupakan kebutuhan mendesak yang harus segera dilakukan. Sehingga ia mampu mengakomodir kebutuhan dan kepentingan perempuan dan laki-laki sesuai dengan kondisi dan posisi yang dihadapi. Hal itu dapat diinterpretasikan bahwa ketika suatu kebijakan akan dibuat dalam hal ini Perda, perlu dipahami bahwa cara berada, berpikir, dan bahasa perempuan dianggap akan menutup kemungkinan terjadinya keterbukaan, pluralitas, dan perbedaan dengan laki-laki. Artinya, jika dalam konteks kekinian bahasa perempuan yang tidak muncul dalam teks berikut interpretasi teks atas Perda harus diperjuangkan, maka menjadi sebuah “kewajiban” berbagai pihak yang terlibat di dalamnya untuk memiliki political will menghadirkan hal itu. Jika hal itu mampu diwujudkan, bukan hanya perempuan saja yang diuntungkan, akan tetapi semua pihak akan mendapatkan manfaat. Meskipun demikian, seperti yang telah disebutkan diatas tercatat adanya perubahan yang berarti dalam beberapa teks peraturan daerah, yakni tercantumnya permasalahan gender yang belum pernah tercantum sebelumnya. Masalah ini bisa dikenali tentunya karena usaha-usaha untuk mengenali persoalan diskriminasi terhadap perempuan dan jawaban pemerintah Indonesia melalui peraturan perundang-undangan seperti UU No. 7 Tahun 1984 hingga Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000. Akan tetapi pencantuman masalah ini adalah satu langkah yang menjadi pendahulu langkah-langkah berikutnya yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan untuk menjawab permasalahan secara nyata. Membuat rumusan kebijakan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan adalah upaya satu tahap. Langkah berikut yang harus dilakukan adalah membuat kebijakan operasional agar secara berangsur-angsur kebijakan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dapat dilaksanakan. Sayangnya, identifikasi isu gender ini kemudian ada yang diturunkan dalam bentuk kebijakan yang tidak sesuai. Program yang menjadi prioritas Pemerintah Gianyar dalam bidang gender, misalnya, berbentuk kegiatan pembinaan kesejahteraan keluarga dan pembinaan peranan wanita. Pemerintah Gianyar tidak mungkin menyelesaikan persoalan hambatan sosial budaya jika hanya membuat kebijakan yang tetap bersandar pada asumsi untuk menguatkan peran domestik perempuan. Untuk mengatasi hambatan yang ada, pemerintah Gianyar seharusnya membuka ruang lain bagi perempuan, bukan dengan jalan menguatkan domestikasi perempuan tetapi berusaha menciptakan peran baru bagi perempuan dengan menyadari dan menimbang peran perempuan sebagai pekerja dan sebagai anggota yang berperan aktif menentukan kelangsungan komunitas. Asumsi bahwa perempuan identik dengan dunia domestik merupakan wacana yang mendasari penolakan terhadap ide partisipasi aktif perempuan dalam kehidupan publik. Hal yang sama juga terjadi pada perumusan kebijakan konkrit pemerintah NAD, yang mengalokasikan dana untuk membeli peralatan masak atau menjahit dalam program pemberdayaan perempuan. Peran perempuan yang diisolir dalam sektor domestik merupakan produk wacana maskulin dalam struktur politik formal, penentu kebijakan di tingkat pemerintah daerah. Pencantuman identifikasi masalah gender tidak diikuti dengan perubahan cara pandang terhadap masalah gender itu sendiri, yang terletak pada definisi peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Pengertian peran ini juga diperkuat oleh interpretasi atas agama dan budaya yang dilakukan oleh pengambil kebijakan. Kalaupun teks peraturan daerah yang dibuat sebenarnya netral gender, pelaksanaan yang mengakibatkan perubahan peran perempuan mengundang penolakan. Salah satu contohnya seperti yang terjadi di Tasikmalaya pada tahun 2001, saat lima orang camat perempuan terpilih, anggota DPRD menolak dengan alasan pemimpin perempuan tidak sesuai dengan visi Islami yang telah ditetapkan oleh daerah Tasikmalaya. Penolakan ini menimbulkan reaksi dari tokoh-tokoh perempuan yang menolak menerima interpretasi visi Islami yang demikian. Peraturan daerah yang ada pada dirinya sendiri tidak membatasi peran perempuan dalam politik, akan tetapi interpretasi atas peraturan tersebut menjadi ruang perdebatan antara wacana maskulin dan wacana feminin. Dominasi wacana maskulin dalam institusi politik dan budaya perlu diintervensi agar nilai-nilai wacana feminin dapat diakomodir oleh institusi tersebut, salah satunya melalui pembuatan peraturan tertulis yang dengan tegas mencantumkan prinsip anti-diskriminasi, maupun dengan pembuatan kebijakan affirmative action. Seperti yang dikemukakan oleh Irigaray, bahwa suatu tatanan dapat terlihat bukan saja dari apa yang mengemuka, tapi juga dari apa yang tak dikemukakannya. Partisipasi politik perempuan misalnya, tidak dirumuskan dan tercantum dalam peraturan daerah karena belum dianggap penting atau mendesak bagi kelangsungan pemerintahan daerah. Hal ini mengemuka sebagai permasalahan, akan tetapi tidak diikuti dengan pembuatan peraturan daerah untuk mengatasinya. Maskulinitas wacana institusi pemerintahan daerah juga terlihat melalui representasi perempuan yang dilakukan dalam peraturan daerah yang dibuat. Jumlah perempuan yang sangat sedikit dalam struktur politik formal yang akan melakukan pengambilan keputusan publik membuat representasi perempuan pun berlangsung tanpa bisa diakses oleh perempuan sendiri. Terdapat beberapa isu dari berbagai Perda yang ada, yang dapat menggambarkan representasi perempuan dalam Perda dari beberapa daerah, diantaranya, Pertama, Tolok ukur nilai dalam sebuah komunitas. Peraturan penggunaan jilbab atau pemisahan ruang publik diterapkan sebagai tolok ukur pelaksanaan visi Islami atau Syariah Islam seperti yang terjadi di Tasikmalaya dan NAD. Aturan tampilan publik yang berubah sesuai dengan penerapan nilai Islam dalam peraturan daerah hanya mencantumkan perubahan untuk penampilan perempuan, sedangkan untuk laki-laki tidak dicantumkan sama sekali. Norma sosial masyarakat yang direpresentasikan melalui cara berpakaian hanya diberlakukan pada satu kelompok dengan jenis kelamin tertentu tanpa berkonsekwensi kepada kelompok jenis kelamin yang lainnya. Hal lain yaitu ketika norma kesusilaan dilanggar seperti dalam kasus pekerja seks dan konsumennya, maka judul berita di media massa mengacu pada pekerja seks perempuan. Yang menjadi sasaran amuk massa adalah si perempuan pekerja seks sementara lelaki konsumen bisa bebas dari amuk tersebut. Kedua, peran domestic perempuan, seperti Ibu sebagai pekerja domestik dalam keluarga. Representasi perempuan sebagai ibu yang hanya memelihara dan melakukan kegiatan rumah tangga adalah representasi dominan yang muncul dalam teks peraturan daerah dan penganggaran. Jika perempuan dilibatkan dalam sebuah organisasi kerja di daerah, maka seringkali perannya adalah sebagai Sekretaris (tukang catat atau pembuat surat), seksi Konsumsi atau sebagai bagian Kesejahteraan Sosial. Kegiatan yang dinyatakan sebagai ‘pemberdayaan perempuan’ adalah penyuluhan tentang kesejahteraan keluarga dan pelajaran keterampilan memasak atau jahit menjahit. Program pemberdayan perempuan yang didanai oleh pemerintah dalam APBD hanya kegiatan PKK. Sementara representasi peran biologis perempuan sebagai ibu tidak direpresentasikan dalam kebijakan kesehatan reproduksi yang memadai. Misalnya, terdapat daerah yang memiliki angka kematian ibu yang sangat tinggi, akan tetapi tidak membuat Perda khusus untuk mencegah atau menanggulangi keadaan tersebut. Kegiatan perempuan yang dilakukan di ruang publik seperti bekerja dan berdagang yang memberikan kontribusi pada perekonomian daerah tidak direpresentasikan dalam berbagai Perda yang berdampak pada perempuan. Salah satu contoh adalah kebisuan Perda kota Mataram terhadap isu buruh migran perempuan yang menjadi korban kekerasan. Perda yang dihasilkan kota Mataram berkisar pada masalah menjadikan buruh migran sebagai sumber pendapatan daerah, akan tetapi tidak memberikan upaya pencegahan dan perlindungan buruh migran dari kekerasan (penelitian WRI 2001). Representasi perempuan dalam perda tidak jauh bergeser dari representasi perempuan dalam GBHN 1978 dan 1984 seperti yang telah dibahas dalam Bab 2 dan Bab 3. Tatanan politik yang baru ternyata tetap membuat perempuan kesulitan mendapatkan saluran untuk menjalankan kepentingannya. Kepentingan perempuan tidak terwadahi dalam tatanan yang maskulin karena permasalahan perempuan tidak tampak dalam sistem wacana maskulin. Jikapun perempuan mendapatkan akses ke dalam struktur tatanan politik, ia kesulitan mendefinisikan permasalahan perempuan dalam sistem bahasa maskulin. Misalnya dalam kasus walikota Sukabumi, Hj. Molly mampu mengidentifikasi tingginya Angka Kematian Ibu sebagai masalah mendesak daerahnya. Akan tetapi ia tidak memiliki perangkat yang mendukung untuk mengangkat persoalan ini menjadi peraturan daerah sehingga tetap tidak menjadi prioritas dalam penanganannya dalam program pemerintahan Sukabumi. Partisipasi perempuan dalam politik terhambat oleh budaya yang mendefinisikan perempuan dalam pembagian kerja tradisional sebagai ibu sekaligus pekerja domestik. Padahal kenyataan bahwa perempuan adalah juga pekerja di ruang publik bukanlah hal yang asing bagi tiap budaya. Hambatan bagi partisipasi perempuan juga terjadi karena pada peraturan daerah tidak tercantum dengan jelas perlunya perempuan mengisi jabatan-jabatan publik. Sebagian besar peraturan masih menggunakan definisi perempuan sebelum adanya peraturan yang menyatakan pentingnya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan pengarusutamaan gender. Bahkan sebuah Perda di Sukabumi mendefinisikan gender sebagai “peran serta wanita dalam pembangunan”. Definisi yang mengakibatkan beban ganda bagi perempuan tersebut sudah lama dikritik oleh penggiat masalah keadilan gender diberbagai daerah dan negara. Nilai-nilai lama yang bertahan dalam tatanan politik dan pengambil keputusan membuat peran perempuan dalam ranah publik sangat sedikit diakui dan perempuan tetap dalam posisi termarginalisasi dalam arena politik formal dan pengambilan keputusan. Melihat berbagai persoalan di atas dibutuhkan adanya Pelatihan sensitivitas gender bagi para pengambil kebijakan di tingkat pemerintah lokal secara berkesinambungan sehingga isu-isu seputar: kepemimpinan perempuan, jilbab dan pemisahan ruang publik berdasarkan gender, perempuan dan kesusilaan, perempuan dan tenaga kerja, perempuan dan pendapatan daerah, perempuan dan APBD, perempuan dan sumber daya alam, perempuan dan kesehatan reproduksi, perempuan dan adat, berikut perempuan dan peraturan kepegawaian dapat ditata ulang untuk menghadirkan Perda dan Kebijakan Publik Lokal yang sensitif gender. Sehingga, secara khusus isu APBD juga harus ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah daerah, sehingga menghasilkan APBD yang sensitif gender, terutama pengalokasian anggaran yang berkaitan dengan retribusi, kesehatan reproduksi, pemberdayaan perempuan, perempuan dan kerja serta pendidikan. Daftar Pustaka Gaffar, Afan, dkk, 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Noerdin, Edriana, Dkk, 2005, Representasi Perempuan Dalam Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah,WRI, Jakarta. Noor Isran, 2012, Politik Otonomi Daerah Untuk Penguatan NKRI, diakses di WWW.isrannoor-otoda.com pada hari senin 24 Juni 2012, Jam 10.39. Noor Isran, 2012, Isran Noor dalam Perspektif Media, diakses di WWW.isrannoor-otoda.com pada hari senin 24 Juni 2012, Jam 10.39.

Senin, 25 Juli 2011

KONFLIK KEPENTINGAN ANTAR ELIT : STUDI PERTAUTAN KEPENTINGAN ANTAR ELIT POLITIK LOKAL DALAM PROSES PEMEKARAN WILAYAH PANGANDARAN KABUPATEN CIAMIS

Oleh : Fitriyani Yuliawati & Subhan Agung
Pemekaran wilayah merupakan salah satu fenomena yang paling booming pada era otonomi daerah ini. Semakin banyak daerah yang merasa mampu menjalankan pemerintahannya sendiri, perbincangan diseputar wacana pemekaran wilayah (kabupaten/kota dan provinsi), akhir-akhir ini merupakan salah satu tema politik yang banyak dibicarakan di masyarakat setelah media baik cetak maupun elektronik menyoroti tentang kasus pembentukan provinsi Tapanuli di Sumatra Utara yang akhirnya menimbulkan korban dengan tewasnya ketua DPRD Sumut. Pergolakan seputar diskursus tentang pemekaran wilayah bahkan sudah sangat mengkristal dan mewacana dengan cepat, tajam, dan menimbulkan friksi politik yang keras.Maka tak heran isu ini menjadi seperti “bola salju”, yang kian menggelinding khususnya dalam zona politik lokal.
Sebagai contoh untuk menggambarkan hal di atas adalah semisal munculnya provinsi-provinsi baru di daerah Sumatera Utara, entah itu menjadi dua atau tiga provinsi.Selain itu, fenomena pemekaran pun marak terjadi pada tingkat kabupaten.Wacana ini merupakan hal yang wajar, mengingat beberapa daerah lainnya telah “sukses” dalam melakukan pemekaran. Misalnya, kabupaten Ciamis yang dimekarkan menjadi 2 Kabupatenmelalui UU No. 27 tahun 2002 mengenai Pembentukkan Kota Banjar di Jawa Baratyang disahkan pada tanggal 11 Desember 2002 dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 21 Februari 2003, yaitu kabupaten Ciamis dan kota Banjar yang dianggap efektif oleh masyarakat kabupaten Ciamis dan kota Banjar karena telah berhasil memandirikan kota Banjar, baik pada segi ekonomi maupun pemerintahan. Sehingga, keberhasilan ini akhirnya menimbulkan wacana baru pemekaran kabupaten Ciamis Selatan (Pangandaran saat ini).
Harus kita akui, bahwa ramainya perbincangan seputar pemekaran daerah tersebut, sesungguhnya tidak terlepas dari keinginan kuat dari masyarakat lokal untuk mengadakan perubahan.Perubahan yang diarahkan melalui usaha-usaha pensejahteraan rakyat. Maka selanjutnya, isu ini pun bersinergi dengan proses politik yang terjadi di republik ini. Misalnya ketika kampanye politik oleh para politisi yang sangat berkepentingan dalam meraup dukungan publik, baik dalam Pemilu legislatif, Pemilu presiden dan bahkan dalam Pilkada yang lalu.Salah satu bentuk dari isu kampanye politik itu adalah dengan menyuarakan perlunya kesejahteraan rakyat untuk semakin ditingkatkan.Akan tetapi, isu ini kemudian disambut oleh kekuatan-kekuatan yang ada ditengah-tengah masyarakat.Apakah itu tokoh masyarakat, kalangan kampus, maupun kelompok-kelompok pemuda dan kedaerahan.
Karena itu, isu ini kemudian bak“bertepuk sebelah tangan”.Boleh kita lihat, misalnya bahwa kekuatan yang paling concern terhadap pemekaran wilayah tersebut bukanlah para elit politik, melainkan kekuatan yang ada di masyarakat.Karena itu, sekalipun tekanan-tekanan isu tentang pemekaran ini besar seperti sekarang ini, itu adalah hasil dari kerja-kerja politik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat. Sebagaimana isu lain yang nilai orisinalnya bersumber dari publik, maka isu pemekaran ini pun memiliki bentuk dan formulasi yang beraneka ragam. Beragam dan bervariasinya bentuk formulasi tersebut sangat berkaitan dengan corak masyarakat yang menyuarakannya.
Sebagai sebuah isu yang menggelepas di masyarakat, tentunya berbagai pandangan mencuat dari berbagai pihak, sehingga isu ini pun berubah menjadi “bola panas”.Perdebatan-perdebatan panjang kemudian digelar, namun tetap tak berujung.Hal inilah yang kemudian memunculkan problema pro dan yang kontra di masyarakat. Sebetulnya, perbedaan pendapat ini amatlah lumrah, terutama dikaitkan dengan proses perkembangan demokrasi di tanah air. Akan tetapi perbedaan pendapat ini haruslah ditata, diformulasikan, sehingga berakhir dengan suatu kebahagiaan bersama.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah pemekaran wilayah adalah langkah yang tidak terpisahkan atau setidaknya didasarkan kepada keinginan untuk mensejahterakan rakyat atau apakah ini justru isu yang hanya permainan politik dari elit politik yang “berkicau” pada saat kampanye politik pada Pemilu 2009 yang lalu. Tak ada jawaban secara pasti, namun setidaknya hal ini memang patut dikritisi, akan tetapi aroma kesejahteraan rakyat begitu melekat kuat dalam isu ini. Karena itu, harus tetap diperjuangkan dan disuarakan dengan tanpa henti-hentinya.
Berkembangnya wacana pemekaran daerah, tidak terlepas dari pemberlakuan prinsip-prinsip otonomi daerah.Secara eksplisit didalam UU No. 32 tahun 2004, memang telah dengan jelas diamanatkan bahwa pada prinsipnya otonomi daerah media atau jalan untuk menjawab tiga persoalan mendasar dalam tata pemerintahan dan pelayanan terhadap publik.Pertama, otonomi daerah haruslah merupakan jalan atau upaya untuk mendekatkan pemerintah kepada rakyat.Kedua, melalui otonomi daerah juga harus tercipta akuntabilitas yang terjaga dengan baik.Ketiga, bagaimana otonomi daerah diformulasikan menjadi langkah untuk mengupayakan responsiveness, dimana publik berpartisipasi aktif dalam pengambilan kebijakan di tingkat lokal.
Sesungguhnya, sebelum isu pemekaran wilayah ini dikristalkan, ada beberapa hal yang harus menjadi media mengkritisinya.Media itu adalah dengan melihat indikator keberhasilan pembangunan daerah selama penerapan otonomi daerah, yang telah berusia enam tahun ini, sekaligus menjadi dasar dalam melakukan pemekaran.Secara sederhana, indikator didalam menilai kemajuan tersebut harus disandarkan kepada tiga aspek/kategori.
Pertama, aspek ekonomi daerah.Apakah pembangunan yang terjadi selama enam tahun terakhir ini adalah pembangunan yang merangsang pertumbuhan ekonomi di masyarakat lokal.Hal ini perlu dijalankan dengan melakukan kajian mendalam, sehingga kelihatanlah seberapa besar pengaruh otonomi daerah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun secara regional, untuk memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan demikian akan bisa kita ketahui bahwa apakah otonomi daerah selaras dengan upaya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kedua, aspek pelayanan publik. Dalam konteks ini, harus dinilai seberapa dekat pemerintah daerah dengan masyarakat, yang tercermin dalam urusan-urusan pelayanan publik yang terbuka, efisien dan efektif.Apakah publik merasa dipuaskan melalui pelayanan pemerintah lokal, atau justru pemerintah lokal mengharapkan pelayanan dari masyarakat.Apakah mental-mental KKN dan primordialisme masih sangat kental dalam urusan-urusan publik.Masih terdapat ketidakadilan, kemudian politik kongkalikong di antara elit lokal masih kerap terjadi. Ketiga, aspek pembangunan demokrasi politik.Menjadi penting juga mengkaitkan antara pelaksanaan otonomi daerah dengan upaya-upaya pelembagaan demokrasi ditingkat lokal. Potret ini bisa terlihat dari beberapa kritiskah rakyat dalam melihat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah lokal atau seberapa besarkah kontribusi dari masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan strategis di daerahnya
Optimisme yang dulunya menggelembung-dimana otonomi daerah, pilkada dan pluralisme adalah suatu yang saling bersinergi-perlahan jangan sampai mengempis.Desentralisasi (otonomi daerah) akhirnya menjadi pilihan absolut, yang hampir tak ada kekuatan yang membantahnya.Jadilah isu otonomi daerah menjadi tema yang sentral dalam jagat perpolitikan kita, namun seolah ambigu di tengah gumpalan politik pemekaran.Akan tetapi, kinihakikat otonomi daerah harus terimplementasi dengan baik, bukan malah berputar di arena wacana termasuk wacana pemekaran daerah.Berdasarkan uraian diatas kemudian menimbulkanpertanyaan yang menjadi rumusan masalah penelitian ini yakni, bagaimanakah tarik-ulur kepentingan antar elit politik dalam proses pemekaran kabupaten Pangandaran.
Demokrasi lokal, ketegangan dan konflik antar aktor menjadi salah satu tinjauan pustaka yang digunakan. Kasus konflik politik yang tidak jarang melibatkan lapisan masyarakat dan dalam skala tertentu menjadi kontraproduktif dengan demokratisasi itu sendiri sangat mengkhawatirkan.
Gagasan pembentukan daerah yang seharusnya meningkatkan pelayanan publik yang tujuan utamanya meningkatkan kesejahteraan rakyat, membuka public sphere, pendidikan politik dan pemberdayaan masyarakat serta mengoptimalkan sumber daya alam agar bisa lebih dimanfaatkan masyarakat di daerah tersebut. Namun, pada kenyataannya menjadi ajang berebut kepentingan “raja-raja” lokal yang ingin berkuasa tanpa memiliki political will dalam cita-cita tadi. Pembukaan daerah otonom juga membuka ruang-ruang kekuasaan baru yang memperluas lahan dalam pertarungan politik di tingkat lokal, tak urung kepentingan politik merekalah yang mengemuka dan hanya pada proses penguatan elit tersebut dan kelompoknya. Proses ini yang kemudian menimbulkan konflik politik.
Sebuah konflik tentu saja tidak terlepas dari adanya suatu kepentingan atau tujuan diantara pihak-pihak yang berkonflik. Menurut Paul Conn dalam Maswadi Rauf (2000), tujuan konflik dapat dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu: pertama, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik mempunyai tujuan yang sama-sama ingin mendapatkan, yaitu berupa perebutan jabatan atau kekuasaan politik atau jabatan pemerintahan. Kedua, satu pihak ingin mendapatkan, sedangkan pihak yang lain ingin mempertahankan apa yang selama ini dimiliki. Seperti yang terjadi dalam pemilihan calon legislatif. Ketiga, pihak-pihak yang terlibat konflik berusaha mempertahankan apa yang telah ada, baik berupa persaingan ekonomi, teknologi, persenjataan, dan sebagainya antarnegara.
Vilpredo Pareto, dalamHaryanto (1981:180) mengatakan, elite adalah individu-individu yang paling mampu dalam setiap cabang kegiatan manusia, elite berjuang melawan massa, melawan mereka yang kurang berbakat, kurang mampu untuk mencapai posisi kekuasaan, walaupun di sisi lain mereka juga diblokir oleh kecenderungan elit berkuasa untuk membentuk oligarki-oligarki yang mengabdikan diri sendiri (self perpetuating) dan turun-temurun.
John Higley dan Michael G. Burton (1987:17-18) menghidupkan teori konflik elite dalam korelasinya dengan transisi menuju demokrasi. Kedua pakar ini membagi tiga tahap struktur elit dalam proses transisi. Pertama, elit yang bersatu secara ideologis. Terjadi dalam negara otoriter. Dalam rezim yang otoriter, mayoritas elit yang kuat secara politik umumnya menjadi anggota partai politik yang sama, mendukung kebijakan politik yang sama dan menunjukkan loyalitas kepada pemimpin yang sama. Dalam situasi ini, politik sangat stabil namun partisipasi politik yang luas tidak terjadi. Bersatunya elite dalam negara otoriter dianggap bukan proses yang murni dan sukarela, namum dibentuk di bawah sistem yang represif. Secara rasional, para elite akan memilih untuk bersatu karena hanya melalui penyatuan diri dengan irama negara otoriter, maka kepentingan politik meraka terlindungi. Kedua,elite yang berkonflik. Bersatunya elite secara ideologis tidak akan bertahan lama. Penyatuan dianggap menentang hakikat masyarakat modern yang beragam. Pada saatnya, elit yang bersatupun akan pecah dan berkonflik satu sama lain. Dalam fase perpecahan, para elit secara publik mulai menunjukkan perbedaan. Mereka bukan saja berbeda dalam orientasi politik, namun mulai juga menjadi anggota partai yang berbeda dan mendukung pemimpin yang berbeda pula. Konflik elit ini dianggap situasi yang tidak terhindari untuk keluar dari negara otoriter. Hanya, melalui konflik elite yang serius, negara otoriter menjadi rapuh dan kemudian jatuh. Konflik elite di satu sisi berjasa dalam pelumpuhan negara otoriter, namun di sisi lain juga berbahaya, jika konflik elit berterusan, negara selalu dalam keadaan krisis yang membuat politik tidak stabil. Jauh lebih berbahaya lagi, apabila konflik elit yang berkepanjangan dapat membuat negara selalu dalam ancaman kerusuhan, anarki dan kekerasan yang berdarah. Ketiga, elit yang berkompetisi dalam prosedur demokrasi. Untuk sampai ke demokrasi, para elite harus menapaki ke satu tahap yang lebih maju lagi. Yaitu mengubah struktur elit dari situasi konflik tanpa adanya aturan main bersama yang disepakati, menuju kompetisi elit dalam prosedur demokrasi
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif.Secara teknis metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif seperti ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang yang menjadi subyek penelitian.Pendekatan ini langsung menunjuk setting dan individu-individu dalam setting itu secara keseluruhan, subyek penelitian baik berupa kelompok, organisasi ataupun individu itu sendiri. Ini tidak akan dipersempit menjadi varibel terpisah atau hipotesis, melainkan dipandang secara keseluruhan.Dalam model penelitian ini, peneliti mencoba menggali fakta di lapangan dari fenomena yang diteliti, yang kemudian dianalisis dengan analisa deskriptif. Dalam penelitian deskriptif, peneliti tidak melakukan uji terhadap hipotesis seperti lazimnya yang dilakukan pada penelitian kuantitatif, tetapi memberikan gambaran secara deskriptif berdasarkan temuan-temuan yang muncul di lapangan dengan didukung oleh data yang diperoleh.
Penelitian ini berawal berangkat dari pemahaman konflik itu sendiri.Konflik dalam suatu masyarakat dan negara ada kalanya sangat diperlukan, hal tersebut karena konflik atau perbedaan, baik pendapat, aspirasi maupun ide dapat memperkaya gagasan yang dapat dikembangkan ke arah kemajuan.Pengajuan pemikiran-pemikiran yang berlainan dan bervariasi merupakan sumber inovasi, perubahan dan kemajuan apabila perbedaan tersebut dapat dikelola melalui mekanisme penyelesaian yang baik.Dengan demikian konflik dapat berfungsi sebagai suatu sumber perubahan kearah kemajuan, seperti yang dikemukakan oleh Dahrendorf (dalam Sastroatmodjo, Sudjiono, 1995:243), bahwa konflik mempunyai fungsi sebagai pengintegrasi masyarakat dan sumber perubahan.
Analisis ini akan pembahasannya akan dibagi dalam dua kajian, yakni ; pertama, tentang kronologis dan dinamika pemekaran Pangandaran/ Ciamis Selatan ini. Kedua, akan membahas tentang proses pertautan antar elit politik dalam proses pemekaran ini yang akan digambarkan dengan model kontentius politik. Hal ini dilakukan agar lebih mampu menggambarkan proses pertentangan antar elit (aktor politik) dalam memperebutkan kepentingannya, sehingga pemetaannya jelas. Model ini tetap tidak menghilangkan substansi model analisis yang digunakan yakni interaktif. Persepsi dan interpretasi penulis didapat dari mendialogkan antara realitas dengan dikatakan informan. Mendialogkan apa yang dikatakan informan yang satu dengan yang lain dan mendialogkan apa yang dikatakan informan dengan teori yang ada. Model kontentius hanya merupakan salah satu konsep untuk mendialogkan antara teori dengan apa yang dikatakan informan.
Sesuai dengan pemahaman konflik di atas, bahwa konflik merupakan sesuatu yang wajar dalam hidup bernegara dan bermasyarakat yang demokratis. Namun, konflik yang tidak mampu dikelola dengan baik memunculkan masalah baru bagi demokratisasi itu sendiri. Dalam konteks konflik yang tidak mampu dikelola, egosentrisme masing-masing pihak yang berkonflik sangat mendominasi dan cenderung akhirnya kepentingan pribadi dan golongan yang sangat mendominasi. Konteks itulah paling tidak yang menggambarkan proses dan upaya pemekaran di Ciamis menjadi kabupaten Ciamis dan Pangandaran.
Namun selain antusiasme yang memang standar terjadi di hampir semua wilayah di Indonesia, konteks desakan kelompok masyarakat di wilayah Ciamis Selatan memiliki konteks dan setting tertentu. Semisal luasnya wilayah geografis di wilayah Pangandaran ke pusat ibu kota yang mencapai jarak di atas 70 km/jam, sehingga menyusahkan masalah urusan publik di wilayah ini. Selain itu juga isu kesenjangan Pendapatan Asli Daerah yang besar dari Pangandaran yang selama ini dikeruk pemerintah Ciamis dan masih banyak faktor lain yang menguatkan pembentukan calon daerah pemekaran ini.
Satu hal yang penting dibahas di sini adalah adanya anggapan keberhasilan kota Banjar yang dianggap berhasil dalam memajukan kotanya setelah lepas dari kabupaten Ciamis. Motivasi itu dianggap para elit politik, terutama mereka yang merasa selama ini kurang optimal perannya di Ciamis ataupun yang berasal dari daerah tersebut yang kemudian mewacanakan kabupaten Ciamis Selatan atau saat ini Pangandaran.Apalagi wacana tersebut dinilai banyak kalangan tidak terlalu berlebihan dikarenakan selama ini pendapatan kabupaten Ciamis sangat besar dari wilayah Ciamis Selatan, terutama Objek Wisata Pangandaran.
Seperti kebanyakan wacana pemekaran lainnya di Indonesia, persoalan apakah usulan tersebut mewakili aspirasi rakyat ataukah hanya kepentingan segelintir elit politik cukup sulit menjawabnya.Hal ini dikarenakan kelompok elit tersebut dengan elegan mampu mencitrakan bahwa mereka adalah representasi dari masyarakat yang menginginkan adanya perubahan radikal yang porogresif dalam hal perbaikan kesejahteraan dan pembangunan di wilayahnya.Artinya bagi masyarakat sebenarnya ada ada tidaknya pemekaran yang penting terjaminnya kesejahteraan mereka.
Selain hal tersebut di atas, konteks munculnya wacana pemekaran juga mengalami kemiripan dengan trend yang berkembang di beberapa daerah di Indonesia. Trend tersebut biasanya muncul karena adanya alasan keinginan untuk mandiri pada daerah tersebut, hal tersebut juga melatarbelakangi terbentuknya pemekaran di Ciamis bagian selatan ini. Pada tahun 2007, setelah melalui proses panjang dan melelahkan, dalam upaya untuk meneruskan lembaga yang sebelumnya pernah ada—semisal Paguyuban Masyarakat Pakidulan-- dalam memperjuangkan pemekaran, maka muncullah Presidium Pembentukan Kabupaten Pangandaran (PPKP). Lembaga ini muncul atas keinginan masyarakat Pangandaran dan sekitarnya (sepuluh kecamatan). Badan Perwakilan Desa yang merupakan lembaga perwakilan formal di tingkat desa dari kesepuluh kecamatan tersebut akhirnya bersepakat memberikan mandat pada lembaga yang nantinya melanjutkan perjuangan pemekaran yang sudah disuarakan sejak tahun 2001 itu. Oleh karena itulah muncul PPKP yang mendapat mandat dari BPD-BPD semua desa yang ada di kecamatan-kecamatan tersebut.
Presidium ini lahir di tahun 2007 yang pada awalnya diketuai oleh bapak Yulius SP. Saat ini presidium diketuai oleh bapak Supratman, seorang pengusaha sapi dari Cikembulan, Parigi. Presidium ini menurutnya lahir dari grass-root yang melibatkan elemen masyarakat yang ada. Tokoh-tokohnya adalah Supratman sendiri, H. Adang Sandaan Hadari, H. Yos Rosby, dan tokoh muda Pangandaran yang sekaligus sekretaris presidium Andis Sose, SE. Dukungan kuat mengalir hampir dari semua masyarakat yang ada di Pangandaran. Tugas presidium yang terbentuk ini adalah melanjutkan proses yang selama ini sudah ada dan diperjuangkan oleh gerakan-gerakan semisal Paguyuban Masyarakat Pakidulan (PMP) di tahun 2001 yang giat-giatnya memperjuangkan wacana pemekaran. Tokoh-tokohnya saat itu ada bapak Ade dan Bapak H.Totong dari Babakan. Menurut Supratman, lembaga Paguyuban Masyarakat Pakidulan (PMP) ini mengalami kemunduran dengan serangkaian proses yang menemui jalan buntu, di mana lobi-lobi yang dilakukan ke pemerintah ditolak dan mendapatkan resistensi. Pemerintahan Engkon Komara dan jajarannya menentang habis-habisan. Belum lagi mendapatkan resistensi yang kuat dari tokoh-tokoh ulama dan politisi partai di hampir semua kecamatan wilayah utara Ciamis. Satu-satunya dukungan dari DPRD waktu itu hanya datang dari Fraksi Partai Amanat Nasional saat itu yang mengakomodir, sehingga berkas dari presidium bisa masuk ke DPRD dan dibahas disana.
Menurut Andis Sose dan Supratman ada tiga pintu yang selama ini digunakan oleh daerah-daerah di indonesia dalam memproses desakan pemekaran daerah, yakni lewat jalur DPRD, baik di tingkat daerah maupun pusat, jalur pemerintah (eksekutif) dan juga jalur Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI). Ciamis Selatan lewat presidium melanjutkan proses yang sudah berjalan sebelumnya lewat dewan, dari mulai kabupaten, provinsi sampai DPR RI. Jalan pemekaran mulai ada celah-celah positif setelah persetujuan datang dari Bupati dan DPRD sebagai syarat administratif. Bahkan DPRD kemudian membentuk Pansus Pemekaran Pangandaran. Maksudnya adalah untuk mengawal proses pemekaran secara kelembagaan DPRD yang memang sudah menjadi kewenangannya.
Gerakan-gerakan perjuangan pemekaran terus-menerus tidak pernah berhenti, walaupun kemudian lembaga semisal Paguyuban Masyarakat Pakidulan (PMP) akhirnya mati. Namun tokoh-tokoh yang memperjuangkannya masih tetap eksis dan bertransformasi ke generasi selanjutnya seperti Yulius SP. Suara-suara untuk pemekaran pun selalu muncul ke permukaan.Nuansa konflik dan ketegangan sangat terasa ketika kami tim peneliti melakukan observasi dan wawancara di Pangandaran. Kami ditekankan oleh presidium (diwakili Andis Sose saat itu), bahwa penelitian ini jangan mengarah pada pengumpulan opini publik masyarakat yang mengarah pada mengganggu proses yang sedang berlangsung. Dikhawatirkan muncul kelompok masyarakat yang kontra pemekaran sehingga mengganggu proses. Mereka mengkhawatirkan karena ada penelitian sejenis ini pernah dilakukan tim peneliti dari salah satu universitas di Bandung. Namun tim peneliti berupaya menjelaskan bahwa tim ini lebih fokus pada dinamika proses pemekaran dan peran aktor-aktor politik lokal. Tentu saja hal ini menyiratkan bahwa polarisasi di masyarakat Pangandaran sendiri sebenarnya ada, namun kurang muncul ke permukaan, karena memang aksesnya ditutup.
Dalam proses naik-turunnya proses desakan pemekaran, konflik kemudian timbul antara mereka yang ingin tetap mempertahankan Ciamis, yang diwakili oleh elit-elit politik konservatif, terutama yang berasal dari luar daerah yang akan dimekarkan. Sedangkan mereka yang terus-menerus “ngotot” ingin menjadikan wilyah Ciamis Selatan menjadi kabupaten direpresentasikan oleh sekelompok elit yang memang dari dulu selalu kritis terhadap pemerintahan rezim yang berkuasa dan juga asli putra daerah Ciamis Selatan semisal Jeje Wiradinata (Mantan Ketua DPRD Kab.Ciamis).Semasa Jeje Wiradinata menjabat ketua DPRD selalu gencar melakukan upaya pemekaran, namun selalu terganjal oleh elit pemerintahan lokal dan kelompok elit lainnya.
Ketegangan tersebut sebenarnya dalam banyak kasus yang terjadi di daerah-daerah Indonesia merupakan sesutu yang wajar dan bisa dikatakan sebagai dampak yang timbul karena pemekaran. Penguasa wilayah yang daerahnya akan dimekarkan akan selalu mempertahankan sekuat tenaga supaya wilayah tidak jadi memekarkan diri, apalagi jika wilayah yang akan dimekarkan merupakan, wilayah yang potensial dalam “mengeruk” Pendapatan Asli Daerah (PAD) pemerintahannya semisal Pangandaran ini. Bapak Engkon Komara, sebagai bupati Ciamis tentunya tidak menyepakati pemekaran Pangandaran ini. Hal ini pun diikuti oleh Camat-camat di wilayah-wilayah yang akan dimekarkan.
Kontentius (ketegangan) politik diantara mereka kemudian merambah pada isu konflik sumber daya, isu kepentingan elit lokal untuk memanfaatkan momentum dan lainnya.Dalam hal aktor yang berseteru pro dan kontra pada akhirnya melibatkan banyak pihak, semisal pemerintah pusat, provinsi, pihak akademisi semisal Universitas Padjadjaran (UNPAD), Intitut Tekhnologi Bandung (ITB), media yang dengan terus-menerus memberitakan dengan gencar, kelompok masyarakat semisal Presidium Pemekaran Kabupaten Pangandaran.
Hasil kajian tim dari Universitas Padjadjaran dan Institut Tekhnologi Bandung (ITB) yang dibentuk DPRD Ciamis untuk melakukan studi pemekaran Ciamis Selatan, menyebutkan bahwa pemisahan 10 kecamatan untuk membentuk daerah otonom, telah memenuhi syarat. Tim kecil itu mempergunakan data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2007, hal itu berbeda dengan data yang dipergunakan oleh tim sebelumnya yang memakai data BPS tahun 2006. Dikatakan Andi Sose, kegagalan kabupaten Pangandaran dalam penelitian untuk uji kelayakan saat itu lebih disebabkan konteks saat itu Pangandaran baru bangkit dari tragedi Tunami, sehingga perekonomian sedang jatuh-jatuhnya. Hal ini terbukti bahwa setelah itu penelitian lanjutan yang masih dilakukan institusi yang sama Pangandaran dinyatakan layak untuk dimekarkan.
Ketua DPRD Ciamis saat itu, Jeje Wiradinata mengungkapkan kesimpulan hasil kajian tim kecil yang secara khusus meneliti persoalan perkembangan perekonomian di wilayah yang sebelumnya menghendaki pemekaran. Kajian yang dilakukan tim tersebut, juga berpegang pada PP 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.Hal tersebut juga dikuatkan dengan penelitian dari Universitas Padjadjaran yang merekomenasikan Ciamis Selatan layak untuk menjadi kabupaten di tahun 2007 dengan alasan berdasarkan penilaian, calon daerah otonom tergolong mampu dengan nilai 412 (persyaratan minimal 340). Demikian pula induk daerah otonom tergolong pada kategori sangat mampu..
Di sisi lain Bupati Ciamis dan birokrat Ciamis yang nota bene tidak sepakat dengan pemekaran Ciamis Selatan mengajukan keberatan dengan dalih belum saatnya dan belum layaknya Ciamis Selatan untuk pemekaran. Dan di tahun 2008 Bupati Ciamis menunjuk Universitas Padjadjaran yang bekerja sama dengan ITB untuk melakukan pengkajian ulang layak tidaknya Ciamis Selatan berpisah dari Ciamis. Hasilnya adalah Ciamis Selatan belum layak menjadi kabupaten sendiri, dikarenakan produksi non migas yang diharapkan sebagai sumber pendapatan domestic regional bruto (PDRB) dinilai kurang memberikan kontribusi pada pertumbuhan perekonomian Jawa Barat.
Menurut Supratman (presidium saat ini), kemunduran proses pemekaran ini salah satunya dikarenakan Jeje Wiradinata yang memang selama ini cukup mendukung pemekaran, ditahun 2008 justru sepertinya acuh tak acuh dalam mengcounter upaya yang dilakukan pemerintah, atau bersikap setengah hati. Perubahan sikap ini disinyalir karena posisinya yang saat itu sebagai calon Bupati Ciamis pada Pilkada 2009 bersama Engkon Komara. Sikap ini dilakukan dikarenakan Jeje Wiradinata ingin mempertahankan dan “mencuri” suara dari utara Ciamis, semisal Panjalu, Kawali, Cihaurbeuti yang selama ini dianggap basis dukungan politik Engkon Komara. Sikap ini tentunya memberikan kekecewaan tersendiri bagi presidium kabupaten Ciamis Selatan yang namanya menjadi Presidium Pembentukan Kabupaten Pangandaran (PPKP) di tahun 2007. Tokoh-tokoh lokal bermunculan dalam upaya yang selama ini sudah ditempuh, semisal Supratman, Haji Adang, Andis Sose dan lainnya.
Jeje Wiradinata justru mengungkapkan hal yang berbeda dengan presidium, memang ketidaksepakatan dan kontra terhadap itu ada di pemerintah—Engkon Komara, dkk--, namun sepengetahuannya pemerintah Engkon Komara tidak mempersulit proses. Lewat lobi-lobi yang dilakukan DPRD, terutama wakil dari Ciamis Selatan, bupati memberikan persetujuan pembentukan kabupaten baru. Hal ini menjadi salah satu syarat administrasi yang wajib dipenuhi, selain persetujuan DPRD induknya. Jadi anggapan konflik terjadi antara yang pro dan kontra yang keras salah besar, hal itu terlalu dipolitisir dan dibesar-besarkan. Kalaupun pemerintah pada awalnya kontra, tapi tidak sampai terjadi mobilisasi dukungan. Selama ini proses berlangsung sesuai prosedur yang berlaku
Wacana pemekaran kabupaten Pangandaran mengalami kemandegan ketika terjadi peristiwa meninggalnya ketua DPRD Sumatera Utara dalam demo anarkhis masyarakat pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli, Februari 2009 yang lalu. Pasca terjadinya peristiwa itu Presiden SBY menekankan untuk melakukan moratorium pemekaran di seluruh wilayah Indonesia untuk sementara. Moratorium ini juga yang menjadi andalan bagi Bupati Engkon Komara untuk menghentikan sementara proses yang sudah berlangsung selama ini.
Bulan Juli, tepatnya tanggal 26 Juli 2010 digelar dengar pendapat antara Tim 12 DPRD Ciamis (keseluruhan anggotanya dari Ciamis Selatan), presidium, BPD-BPD di Ciamis Selatan, kepada desa dan tokoh masyarakat Pangandaran.im 12 DPRD Ciamis yang anggotanya merupakan wakil rakyat dari wilayah Ciamis Selatan mulai menindaklanjuti pembentukan daerah otonomi baru (DOB) Kabupaten Pangandaran, secara kelembagaan. Di lain pihak Presidium Pembentukan Kabupaten Pangandaran (PPKP) juga tetap konsisten bergerak memperjuangkan segala proses pemekaran. Perjuangan pembentukan kabupaten Pangandaran dapat berjalan lebih kuat, apabila seluruh elemen masyarakat menyatukan persepsi mengenai pemekaran tersebut. Tim 12 maupun Presidium Pembentukan Kabupaten Pangandaran harus saling mendukung untuk mencapai tujuan bersama.Rapat saat itu akhirnya menyepakati adanya utusan khusus untuk datang ke pemerintah pusat, khususnya Depdagri. Utusan tersebut, terdiri dari unsur DPRD Ciamis, Presidium Pembentukan Kabupaten Pangandaran, BPD, Bupati Ciamis, Gubernur Jawa Barat, anggota DPRD Jawa Barat dari asal Ciamis.Tokoh masyarakat Ciamis selatan yang hadir di antaranya mantan Ketua DPRD Ciamis Jeje Wiradinata, Abdul Goffar dan Mizan. Sementara tim 12 yang anggotanya berasal dari wilayah Ciamis selatan seluruhnya hadir. Presidium sendiri diwakili Koordinator Presidium Pembentukan Kabupaten Pangandaran Yulius SP didampingi Adang Hadari.
Pasca dinyatakan layaknya Pangandaran dan lewat penggodogan di DPR dan disahkannya undang-undangnya, pemerintah dibawah Engkon Komara melunak. Hal ini terlihat dari sikap yang ditunjukkan oleh camat Pangandaran saat ini, beliau menyatakan bahwa posisi pemerintah, termasuk camat saat ini netral, biarkan masyarakat menentukan nasibnya sendiri. Sikap ini membuat lega presidium dikarenakan sikap pemerintah selama ini keras terhadap pemekaran ini.Saat ini masyarakat Pangandaran dan sekitarnya masih menunggu hasil dan penuntasan dari DPR RI dan penilaian atas kunjungannya ke Pangandaran. Dari sinyal-sinyal yang ada, sepertinya keinginan masyarakat Pangandaran untuk “memisahkan” diri dari kabupaten Ciamis akan segera terlaksana. Pemerintah Ciamis yang dari awal desakan pemekaran antipati akhirnya memang tidak bisa berbuat banyak, karena prosesnya memang sudah sesuai perundangan-undangan yang berlaku sehingga memiliki kekuatan hukum. Dengan sangat terpaksa pemerintah harus membantu proses-proses yang terkait dengan kebutuhan penuntasan pemekaran.
Pemerintah kabupaten Ciamis yang diwakili wakil bupatinya Iing Syam Arifin pada Rapat Paripurna DPRD Ciamis, tanggal 8 Juli 2010 mengungkapkan bahwa, pemerintah sudah merencanakan akan menggelontorkan hibah dan dukungan dana untuk calon Kabupaten Pangandaran sebesar Rp 7,5 miliar. Anggaran tersebut dialokasikan bagi hibah penyelenggaraan pemerintah tahun pertama dan kedua serta dukungan dana pemilihan kepala daerah (Pilkada) pertama kali.Berkaitan dengan pemberian hibah dan dukungan, pemerintah Provinsi Jawa Barat juga telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 12,5 miliar. Dengan demikian apabila diakumulasi, anggaran untuk calon Kabupaten Pangandaran selama dua tahun berturut sebesar Rp 20 miliar.
Konflik politik dalam momentum desakan pemekaran Ciamis dan Pangandaran memperlihatkan pada kita bagaimana momentum pemekaran ini menjadi arena pertarungan antar elit lokal (kontentius politik) dalam mengukuhkan kekuasaan masing-masing.Bicara kekuasaan dalam kajian Ilmu Politik memang berkutat pada mendapatkan, mengelola dan mempertahankan kekuasaannya itu. Proses kontentius politik antar elit pun akan berkutat pada persoalan tersebut. Seperti yang disebutkan dalam kajiannya Pareto seperti diulas di atas, bahwa elit memiliki kemampuan lebih dalam semua hal, termasuk menunggangi gegar demokrasi saat ini. Mereka selalu mengatakan bahwa yang terjadi adalah proses demokrasi. Andaikatapun ada pertarungan, hal itu merupakan sesuatu yang wajar dalam koridor demokratisasi.Namun menjadi picik, jika kepentingan politik dan ambisi pribadi serta kelompoknya yang mengatasnamakan demokrasi justru kontra-produktif bagi kesejahteraan itu sendiri.
Pemekaran Pangandaran dari proses awal desakan masyarakat sudah sangat kental dengan pertautan kepentingan antar elit lokal di kabupaten Ciamis. Kepentingan dan desakan berbagai elemen masyarakat di tahun 2001 menginginkan pemekaran tidak mendapatkan tanggapan dari pemerintah Ciamis, dibawah pimpinan Engkon Komara (Bupati Ciamis).
Pertautan antar kepentingan elit dalam pemekaran Pangandaran ini akan digambarkan dalam model ketegangan politik (kontentius politik) yang muncul diantara kelompok-kelompok elit yang memiliki kepentingan dengan proses ini. Dalam model kontentius digambarkan adanya
: (1) struktur yang menjadi setting pertentangan tersebut, (2) proses pertentangan tersebut, yang meliputi pembentukan aktor, eskalasi aktor dan mobilisasi aktor. (3) mobilisasi aktor. Model ini kalau digambarkan sebagai berikut :
Bagan 1. Analisis Setting, Proses dan Pertarungan Aktor







Struktur yang menjadi lahan pertautan kepentingan antar aktor politik adalah sosial, ekonomi, dan politik dan pemerintahan. Lahan-lahan inilah yang dijadikan ajang pertempuran dalam proses pemekaran ini. Kalau kita lihat isu-isu yang kemudian “membubung” adalah persoalan kemudahan dalam pelayanan publik, akses untuk mendapatkan layanan tersebut, sumber daya alam dan pengelolaannya, isu kesejahteraan masyarakat, terutama di wilayah Ciamis Selatan.
Isu-isu besar tersebut yang dijadikan ranah pertentangan selama ini. Kelompok yang pro (Presidium dan tokoh-tokoh Ciamis Selatan) melihat bahwa hal-hal yang disebutkan di atas di kawasan Ciamis Selatan mengalami kemunduran dengan kondisi jarak geografis yang begitu luas, kemampuan pemerintah menjadi terbatas mengurusi semua persoalan masyarakat. Sehingga tuntutan pemekaran adalah jalan yang tepat. Sedangkan kalangan pemerintahan (pimpinan Engkon Komara), menganggap bahwa isu-isu tersebut bukan menjadi alasan yang kuat bagi masyarakat untuk memisahkan diri dari Ciamis. Pemerintah selalu berusaha melakukan yang terbaik bagi warganya, apabilamasih ada kelemahan selama ini, masih ada solusi yang lebih tepat selain pemekaran, semisal hambatan geografis, sehingga mempersulit pelayanan publik di wilayah Ciamis Selatan bisa dicarikan solusi semisal kantor pelayanan yang ditempatkan di Pangandaran. Pemerintah melihat justru kepentingan elit-elit politik lokallah yang lebih mendominasi dalam pemekaran kabupaten Pangandaran.
Aktor-aktor politik lokal yang berhadap-hadapan pada awalnya adalah konflik antara yang pro-pemekaran dan yang kontra pemekaran. Aktornya diidentifikasi yang pro dipimpin oleh tokoh-tokoh yang bergabung dalam Paguyuban Masyarakat Pakidulan (PMP) dengan pemerintah kabupaten Ciamis yang direpresentasikan oleh bapak Engkon Komara. Proses vis a vis kedua aktor yang bersilang pendapat inilah dalam konsep di atas disebut sebagai proses pembentukan aktor. Identifikasi ini penting untuk menyederhanakan peta pertarungan antar elit pada awalnya. Dari informasi informan dan data sekunder menunjukkan bahwa pemerintah di bawah pimpinan bapak Engkon Komara sangat antipati terhadap proses pemekaran tersebut. Namun di sisi lain Paguyuban juga sangat semangat dan pantang menyerah dalam memperjuangkan pemekaran ini. Arena pertarungan meliputi struktur ekonomi, sosial, politik dan pemerintahan.
Aktor yang berhadapan pada awalnya sederhana yakni pemerintah dan masyarakat Pangandaran yang terepresentasi pada Paguyuban Masyarakat Pakidulan mengalami perluasan aktor. Pemerintah kemudian menggandeng lembaga akademis semisal Unpad yang pada awalnya digunakan untuk membuat penelitian uji kelayakan pemekaran. Walaupun lembaga ini netral namun kesimpulan penelitian saat itu yang menyimpulkan bahwa Pangandaran belum layak pemekaran dijadikan legitimasi pemerintah untuk tidak merespon bahkan mematikan wacana pemekaran. Pemberitaan-pemberitaan pun lebih mengarah pada ketidaklayakan Pangandaran untuk memekarkan diri. Namun di sisi lain Paguyuban Masyarakat Pakidulan pun tidak tinggal diam, mereka menggandeng tokoh-tokoh politik lokal yang disegani di kabupaten semisal ketua DPRD Jeje Wiradinata dan juga Fraksi Partai Amanat Nasional.
Sebagaimana kita ketahui, walaupun saat itu hasil penelitian Universitas Padjadjaran menyimpulkan Pangandaran belum layak pemekaran, namun berkas usulan pemekaran tetap di proses di dewan. Paguyuban juga memobilisasi masyarakat dengan berbagai cara salah satunya penggalangan dukungan lewat web site Pangandaran yang bertahan sampai saat ini (http://www.pangandaran.com) yang didalamnya berisi visi misi, rencana, program dan proses perkembangan pemekaran. Masyarakat bisa mengakses secara langsung keseluruhan proses yang berlangsung. Pemerintahan Engkon Komara juga “dijaga” oleh banyaknya dukungan semisal camat-camat di Ciamis yang dipengaruhi pemerintah, termasuk camat Pangandaran. Hal ini mudah bagi pemerintah dikarenakan camat adalah bawahan bupati yang harus menuruti perintah bupati dan kapan saja bupati bisa menggantinya. Dukungan yang kontra pemekaran pun dilancarkan tokoh-tokoh politik dan kalangan partai yang berasal dari kecamatan-kecamatan Ciamis sebelah utara, semisal Kawali, Panjalu (daerah asalnya Bupati Engkon), Cihaurbeuti, Tambaksari, Rajadesa dan kecamatan-kecamatan besar lainnya.
Pasang-surut perkembangan proses pemekaran terus bergulir dan diwarnai layak dan tidak layak pemekaran. Tercatat Pangandaran beberapa kali dinyatakan tidak layak untuk dimekarkan lewat kajian ilmiah dari Universitas Padjadjaran dan Institut Tekhnologi Bandung, sampai akhirnya lewat uji ulang kelayakan, dinyatakan layak. Tarik ulur ini sangat sarat dengan kepentingan aktor-aktor yang berbeda pendapat tentang pemekaran ini. Tahun 2009 sampai saat ini boleh dikatakan keberpihakan sedang menuju ke kelompok yang pro pemekaran, karena serentetan progres semisal ditetapkannya Rancangan Undang-Undang di DPRD Jawa Barat, bahkan sampai di DPR RI. Dipertengahan tahun 2010 DPR RI terjun langsung ke Pangandaran dan diliput banyak media yang semakin mengukuhkan Pangandaran menjadi kabupaten. Sikap aktor utama (pemerintah kabupaten Ciamis) agak melunak dan mau bekerja sama dikarenakan memang rekomendasi dari DPR RI mengharuskan seperti itu. Mau tidak mau pemerintah mengakomodir segala keperluan yang dibutuhkan dalam proses pemekaran.
Konflik politik yang muncul kemudian di akhir-akhir ini, terutama pasca kunjungan anggota DPD-RI di pertengahan tahun 2010 lalu, tidak lagi dalam porsi berhadap-hadapannya antara yang pro dan yang kontra, namun lebih kepada tarik-menarik kepentingan antar elit, kesalahpahaman, miskomunikasi dan barangkali secara sarkastik bisa dibilang siapa yang merasa paling depan memperjuangkan pemekaran. Hal ini dimungkinkan kepentingan para elit lokal, baik yang memperjuangkan sejak awal ataupun yang baru, pada orientasi pasca pemekaran. Kepentingan tersebut semisal pemilihan bupati dan pejabat penting lainnya.
Pertentangan tersebut seperti terlihat dalam pertentangan dan protes yang dilakukan presidium terhadap agenda dengar pendapat yang diselenggarakan DPRD Ciamis dengan Tim 12 nya (Pansus Pemekaran Ciamis Selatan) pada tanggal 26 Juli 2010. Presidium justru menganggap pertemuan tersebut menunjukkan DPRD tidak tahu apa-apa tentang pemekaran, karena dengar pendapat tersebut justru akan menggangu proses yang sudah berjalan di DPR. Harusnya dewan langsung berkomunikasi langsung dengan presidium, karena sudah mendapat mandat dari masyarakat lewat BPD-BPD di Ciamis Selatan. Walaupun dewan punya kewenangan, tetapi jangan sampai melangkahi tugas dan fungsi dari presidium.
Sedangkan Jeje Wiradinata, politisi kawakan Ciamis asal Pangandaran, memang memiliki peran yang tidak sedikit tentang pemekaran ini. Namun kekecewaan presidium terjadi karena sikapnya pernah “mendua” di tahun 2008-2009 ketika beliau masih menjabat ketua DPRD kabupaten Ciamis. Sikap ini dianggap tokoh pemekaran (Supratman, informan) untuk mendapatkan suara dari Ciamis sebelah utara, sejak saat itu presidium antipati dengan bapak Jeje Wiradinata. Sikap Jeje saat ini mendukung pemekaran, disinyalir ingin mendapat dukungan pencalonannya menjadi bupati Pangandaran, yang memang sudah terdengar gencar rencana pencalonannya.
Dalam menyikapi tudingan dan kekcewaan dari presidium saat ini, Jeje Wiradinata (mantan ketua DPRD, informan) menganggap hal itu salah besar dan salah memahami sikapnya. Hal ini dikatakannya berikut“Kekecewaan dan tudingan itu --kalaupun memang ada-- dari presidium mungkin bersifat pribadi. Mungkin ada ketidaksukaan terhadap saya. Padahal peran saya dan DPRD Ciamis dalam menggolkan pemekaran sampai ke DPR RI saat ini tidak diragukan lagi. Kalau tidak ada pengesahan DPRD kan tidak mungkin pemekaran gol ?, DPRD di jaman saya juga mengesahkan pembiayaan untuk uji akademis kelayakan saat itu dari Unpad sekitar 500 juta, dan uji ulang sekitar 150 juta, bahkan saya juga sempat membuat Pansus untuk mengawal proses secara kelembagaan. Sedangkan tentang suara dari utara justru sebaliknya, saya malah tidak mendapatkan suara, dikarenakan saya harus jujur berkata “ya” pemekaran jadi, ketika penduduk menanyakan jadi atau tidaknya pemekaran. Padahal mereka sangat kontra dengan pemekaran saat itu. Hal ini saya lakukan karena saya tidak bisa berbohong pada masyarakat, walaupun akhirnya harus kehilangan suara saat itu”.
Apa yang disampaikan Jeje Wiradinata justru bertolak belakang dengan apa yang disampaikan Supratman (ketua Presidium Kabupaten Pangandaran), Jeje Wiradinata justru menganggap antipati presidium dibawah pimpinan Supratman lebih kepada masalah pribadi, pernyataannya tentang “mendua”nya sikap dirinya terhadap pemekaran Pangandaran sangat tidak beralasan, dikarenakan DPRD di masa kepemimpinannya selalu pro-aktif dan mengawal setiap proses. Jeje menganggap langkahnya selama ini sudah tepat dan berimbang sesuai dengan aspirasi. Dirinya tidak mengintervensi aspirasi masyarakat, semuanya dibiarkan berproses apa keinginan masyarakat.
Jeje Wiradinata mensinyalir antipati tersebut dikarenakan ada isu dirinya akan mencalonkan diri sebagai bupati Pangandaran, jika sudah dimekarkan nanti. Presidium yang kebetulan saat ini dipimpin pak Supratman tidak suka dengan isyu ini, dikarenakan kemungkinan Supratman sendiri juga akan mencalonkan diri sebagai bupati. Kepentingan inilah yang kemungkinan besar “menyelewengkan” apa yang sebenarnya terjadi. Menurutnya persoalan nanti siapa yang akan mencalonkan bupati tidak masalah siapapun yang penting mampu. Dan jika dirinyapun maju, itu bukan ambisi pribadi, tetapi amanah partainya—Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan—sebagai kewajaran dalam proses politik. Apalagi PDI-P adalah partai besar di Ciamis dan Pangandaran, sehngga wajar mengajukan calonnya dalam pemilihan bupati.
Terlepas dari siapa yang benar dan salah dalam perdebatan dan ketidaksepahaman antar elit di atas, kalau kita melihat fenomena ini telah terjadi eskalasi aktor yang begitu besar. Hal inilah dalam model di pertarungan aktor di atas sebagai tahap eskalasi dan mobilisasi aktor. Eskalasi aktor yang asalnya hanya konflik lokal meluas sampai nasional. Eskalasinya juga menjadi perdebatan di tingkat nasional (khususnya di komisi II DPR RI), masalahnya juga berkembang bukan hanya pada persoalan pro-kontra pemekaran, tetapi lebih meluas pada perbedaan kepentingan tertentu.
Dalam proses perluasan eskalasi aktor tersebut, masing-masing aktor awal yang berkonflik memobilisasi aktor yang memiliki kesamaan kepentingan, sehingga bermetamorfose ke bawahnya. Walaupun kemudian dalam kasus pemekaran Pangandaran ini, mobilisasi lebih kuat di pihak yang pro pemekaran. Hal ini terbukti dari perkembangan terkini pihak pemerintah yang selama ini menentang pemekaran, mulai melunak dan mau bekerja sama membantu proses pemekaran. Selain itu juga muncul aktor netral yang dalam dataran tertentu bisa dimanfaatkan oleh aktor utama tadi untuk melegitimasi posisinya. Selain itu juga muncul aktor politik yang menunggangi proses pemekaran ini untuk dimanfaatkan sesuai dengan kepentingan dan ambisi pribadinya.
Dari analisis di atas, golongan elit (pemerintahan, elit masyarakat, mantan pejabat, agamawan dan lainnya) banyak terjadi luka-liku persoalan dan pertautan kepentingan. Mereka selalu saja memanfaatkan momentum yang ada untuk memenuhi ambisi dan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Hal ini memang tidaklah aneh, karena biasanya elit memiliki tabiat seperti yang disebutkan di atas. Ilmuwan Wertheim, misalnya pernah menyindir kondisi ini. menurutnyapemahaman elit tentang massa yang selama ini menjadi taken for granted, adalah bahwa massa tidak tahu apa-apa, pengikut setia (pembebek). Hal inilah sebenarnya yang sepenuhnya harus dirubah. Bagaimana kemudian elit yang memiliki kelebihan dalam berbagai bidang mampu menjadi fasilitator dalam pendidikan politik, mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasi politik dan kepentingan umum yang kemudian diusung.
Dari pembahasan yang telah dipaparkan dapat diambil suatu kesimpulan, yaitu aspirasi pemekaran sebenarnya berawal di tahun 1999-an dan mulai menguat di tahun 2001 dengan dikomandani sekelompok masyarakat yang menamakan dirinya Paguyuban Masyarakat Pakidulan (PMP) yang tentunya digerakkan oleh elit-elit politik lokal Pangandaran yang juga mendapat support kuat dari Partai Amanat Nasional dan elit politik lokal yang ada di DPRD saat itu. Bisa dikatakan bahwa hampir sebagian besar masyarakat Pangandaran mendukung pemekaran, kalaupun yang kontra suara mereka tidak muncul ke permukaan. Pemerintah di bawah pimpinan bapak Engkon Komara menentang keras dengan memobilisasi dukungan di dewan dan tokoh-tokoh politik dari kecamatan di sebelah utara Ciamis.
Konflik menjadi meluas dikarenakan kedua belah pihak yang berkonflik tetap pada pendirian masing-masing dan memobilisasi kekuatan. Dengan dalih syarat administrasi pemekaran, politisasi dan mobilisasi kekuatan inilah yang menyebabkan konflik melibatkan pihak-pihak lain yang selama ini tidak terlibat, semisal kalangan akademisi (Unpad dan ITB), media, DPRD, para tokoh di Ciamis utara, para tokoh masyarakat di Ciamis Selatan, politisi partai politik, agamawan, DPR RI, dan presiden. Dari hasil penelitian terlihat bagaimana kerasnya perjuangan masyarakat Pangandaran dalam mengusung pemekaran, namun di sisi lain juga terlihat adanya upaya dari segelintir politisi yang memanfaatkan hal ini untuk ambisi dan kepentingan pribadinya. Di luar kontentius yang terjadi seperti dibahas dalam analisis di atas, keberhasilan masyarakat Pangandaran dan sekitarnya lewat representasi peran presidiumnya, sehingga saat ini proses pemekarannya hampir final, menunjukkan kekompakkan dan desakan masyarakat yang begitu kuat tidak bisa dihalangi oleh kekuasaan rezim sekalipun. Namun, moment ini sudah menjadi lahan subur arena pertarungan antar elit politik lokal yang memiliki berbagai kepentingan di dalamnya, pertarungan inilah yang menyebabkan proses penuh dinamika dan dalam dataran tertentu terjadi tarik-ulur. Apapun hasil yang didapat dari proses pemekaran ini yang jelas sangat dibutuhkan masyarakat adalah kesejahteraan.

Senin, 28 Februari 2011

Eksploitasi Ekonomi dalam Politik Lingkungan di Indonesia


Deforestation (perusakan hutan) di Indonesia saat ini telah menjadi ancaman yang sangat serius, setiap tahunnya kerusakan hutan yang terjadi  di wilayah Indonesia terutama di luar pulau jawa, sepanjang Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua telah berada pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan Deforestation sebagai kejadian ketika lahan hutan ditebangi atau dibersihkan untuk dikonversi penggunaan lahan untuk sektor di luar kehutanan (Herman Hidayat, 2008). Kehancuran hutan menunjukkan pada penggantian dalam kualitas hutan, dan terjadi ketika beragam spesies dan biomas berkurang secara penting, misalnya, penggunaan hutan secara tidak lestari. Keadaan kerusakan hutan ini terjadi secara nyata di Indonesia. Hal ini terus berlangsung semenjak kebijakan mengenai pengelolaan hutan oleh pihak swasta diberlakukan melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Kebijakan mengenai pengusahaan hutan yang mulai diberlakukan ketika masa pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto ini telah menimbulkan kerusakan hutan yang sangat mengkhawatirkan, karena melalui HPH pengeksploitasian hutan berjalan secara sporadis baik itu melaui loging maupun pertambangan.
Bahkan, sebuah badan dunia FAO (Food and Agricultural Organization) melansir sebuah hasil riset yang menempatkan Indonesia sebagai perusak hutan tercepat di dunia. Laju kerusakan hutan kita, menurut data itu, adalah 2 persen atau 1,87 juta hektar per tahun. Dengan kata lain, 51 km persegi hutan kita rusak setiap setiap hari atau atau 300 kali lapangan sepak bola setiap jamnya. Lembaga lain United Nation Environment Programme (UNEP/GRID-Arendal) pada Mei 2007 mempublikasikan perubahan wajah Pulau Kalimantan dalam enam dekade ke belakang dan satu setengah dekade ke depan. Pada tahun 1950, Kalimantan nyaris dipenuhi hijau hutan. Tahun 2005, Kalimantan sudah kehilangan sekitar 50% hijaunya. Pada 2020, diestimasikan bahwa hanya sedikit warna hijau (sekitar 25% saja) yang akan tertinggal di pulau ini.
Selain itu, pada tahun 2007 majalah Times (edisi 1 Oktober 2007) memuat sebuah gambar satelit yang menggambarkan perubahan Jakarta secara dramatis. Tahun 2010, permukaan air laut diestimasikan sudah makin merambah masuk ke daratan (hal ini sudah mulai dirasakan dengan adanya air rob yang mulai masuk ke pemukiman penduduk). Pada 2020, sebagian Bandara Sukarno-Hatta sudah mulai tergenangi air laut. Bahkan pada 2050, permukaan air laut sudah mengancam kawasan Monumen Nasional di pusat ibukota. Pemanasan global dan kenaikan permukaan air laut yang diakibatkannya adalah ancaman konkret yang tak bisa dihindari. Majalah Times (edisi 1 Oktober 2007) juga memperlihatkan bahwa lapisan es di Kutub Utara yang sudah menyusut lebih dari 20% dalam 25 tahun terakhir. Pencairan es ini akan terus berlangsung hingga tinggal sekitar 20% saja pada 2040. Pada saat itu, Indonesia diestimasikan akan akan kehilangan lebih dari 2.000 pulaunya yang tenggelam.
Apabila kita melihat data di atas, hal ini telah menjadikan politik lingkungan sebagai wacana yang semakin menarik perhatian saat ini. Politik lingkungan mulai berkembang pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an (Daugverne, 2005). Lingkungan pada dasarnya mempunyai makna yang sangat luas, kita sering menterjemahkan lingkungan sebagai suatu bentuk alam saja, akan tetapi lingkungan bermakna tidak saja menyangkut masalah alam, akan tetapi juga sosial atau sering disebut sebagai lingkungan sosial atau aturan-aturan, kebiasaan, hukum yang berkaitan dengan bagaimana mengatur orang sebagai anggota masyarakat. Lingkungan yang dipahami sebagai bentuk alam atau lingkungan alam keadaannya sangat mencolok berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan dan ini memerlukan penanganan secara politik dari pihak pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Secara politik, lingkungan boleh dibilang masih terpinggirkan hampir setiap kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan belum kelihatan hasilnya, akibatnya kini kondisi lingkungan semakin bertambah parah. Intervensi manusia terjadi dengan paradigma yang tidak didasarkan pada pertimbangan lingkungan, bahkan lingkungan masih dijadikan beban atau dianggap sebagai eksternalitas yang membebani persoalan yang sama juga terjadi di tingkat pengambilan keputusan. Para pengambil keputusan tidak mempertimbangkan persoalan lingkungan di dalamnya. Masalah kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia adalah berhubungan dengan pengelolaan yang salah atas eksploitasi hutan yang menunjukkan korelasi indikator sebagai berikut, Pertama, kelengahan atas pengelolaan hutan diantara aktor (pelaku)yang langsung misalnya birokrat Departemen Kehutanan baik di instansi pusat maupun instansi daerah dan para pengusaha baik lokal maupun transnasional. Mereka seringkali lengah untuk mengimplementasikan konsep dan sistem pembangunan kehutanan yang berbasis lingkungan. Kedua, para aktor ini tidak memperhatikan pentingnya tabiat manusia dengan lingkungan dan mereka (pelaku) gagal gagal untuk mengintegrasikan sistem hubungan manusia dengan alam. Hal ini penting untuk diakui perbedaan antara sistem manusia dengan alam, manusia secara individu dan kelompok dapat mengantisipasi dan menyiapkan masa depan untuk lebih besar keperluannya (tingkatannya) daripada sistem lingkungan (Peterson, 2000).
Para ahli mendefinisikan politik lingkungan secara berbeda, Garry Peterson dalam jurnal Ecological Economics mengatakan bahwa politik lingkungan merupakan suatu pendekatan yang menggabungkan masalah lingkungan dengan politik ekonomi untuk mewakili suatu pergantian tensi yang dinamik antara lingkungan dengan manusia, dan antara kelompok yang bermacam-macam di dalam masyarakat dalam skala dari individu lokal kepada transnasional secara keseluruhan. Bryant mengatakan bahwa politik lingkungan boleh didefinisikan sebagai usaha untuk memahami sumber-sumber politik, kondisi dan menjadi suatu jaringan dari pergantian lingkungan. Sedangkan, Abe ken-ichi mendefinisikan politik lingkungan sebagai suatu kolektif nama untuk semua usaha intelektual untuk secara kritis menganalisis masalah ketepatan sumber daya alam dan asal usul kerusakan sumberdaya alam secara politik ekonomi, dengan maksud itu diperoleh studi akademik atau aplikasi yang bersifat praktis.
Politik lingkungan juga menganalisis peran institusi atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan sumberdaya alam dan lingkungan. Disini peran masyarakat, pemerintah, swasta, LSM, lembaga pendidikan dan penelitian juga mempunya kontribusi di dalam menganalisis politik lingkungan. Politik lingkungan juga menganalisis persoalan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pasar namun tidak dapat dikontrol oleh pasar. Pasar dan swasta biasanya memiliki kekuasaan dan kontrol walaupun tidak memiliki kewenangan atas sumberdaya alam. Akibat dari perilaku dan tindakan pasar terjadi eksternalitas yang kemudian membutuhkan intervensi pemerintah untuk menanganinya. Peranan pemerintah dalam menanggapi keperihatinan publik atas persoalan lingkungan dapat ditindak-lanjuti dengan membuat dan menegakkan peraturan untuk pengendalian dampak lingkungan maupun mengendalikan atau menindak perusahaan yang menghasilkan dampak negatif pada lingkungan. Tindakan ini dapat diklasifikasi sebagai tindakan disinsentif karena memberikan hukuman kepada mereka yang melanggar aturan namun bisa berdampak positif bagi lingkungan.
Dari uraian di atas tampaknya politik lingkungan sangat kompleks. Ide dan analisis bisa berada dalam dimensi atau ruang lingkup ilmu lain seperti ekologi politik, keadilan lingkungan, persoalan-persoalan rasial yang berkaitan dengan lingkungan, ekonomi politik penguasaan sumberdaya alam dan perusakan lingkungan, kerusakan lingkungan, dampak negatif pada lingkungan, bioteknologi, tata kelola lingkungan, pengelolan sumberdaya alam berbasis masyarakat, resolusi konflik lingkungan, kemiskinan masyarakat, tataguna lahan, desentralisasi, kekuasaan dan kewenangan, hukum lingkungan, tata kelola dan alat kontrol kekuasaan atas lingkungan, politik dan kebijikan serta pengambilan keputusan tentang lingkungan.
Politik Lingkungan di Indonesia
Kasus pencemaran lingkungan seperti kasus New Mont Minahasa Raya di Sulawesi Utara, persoalan Freeport di Papua , PT Indorama, PT Indorayon, Lapindo Sidoarjo dan yang paling baru kasus Sinar Mas Grup yang diyakini telah membabat hutan di Indonesia secara illegal melalui anak perusahaan mereka Asia Pulp and Paper (APP) merupakan kasus yang menarik untuk dikaji dari sudut politik lingkungan. Di sini ada uraian historis tentang proses penguasan sumberdaya alam, ada keterlibatan perusahaan asing, pejabat pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi lokal. Ada peranan media dan Ornop serta kelompok lokal dalam kampanye dan advokasi, ada konflik politik dan perlawanan. Ada campur tangan hukum namun ada permainan (politik) yang membebaskan perusahaan dari penjara, dari tanggung jawab oleh pihak yang bisa membayar pihak penguasa, ada interaksi antara kekuasaan dan kewenangan, uang dan politik.
Salah satu permasalahan serius yang pernah dihadapi adalah adanya perlawanan masyarakat lokal terhadap perusahaan pertambangan emas AS Freeport di Papua maupun di daerah lain di Indonesia. Ada persoalan ekonomi dan politik, ada diplomasi dan hubungan Internasional di dalamnya yang menghasilkan dampak negatif pada masyarakat lokal. Ada kolusi dan kerjasama kolektif yang lebih menguntungkan kelompok tertentu, dan dampak negatif pada lingkungan sudah sangat dasyat. Permasalahan yang akhir-akhir ini sedang mendapatkan perhatian yang begitu besar dari LSM internasional Greenpeace adalah konflik yang terjadi antara warga Teluk Meranti dengan Asia Pacific Resource International Limited (APRIL). Dilaporkan bahwa sekitar seribu warga Teluk Meranti menyatakan sikap menolak hutan Semenanjung Kampar dikelola perusahaan milik APRIL. Deklarasi penolakan juga diikuti puluhan warga dari empat desa di sekitar Semenanjung Kampar, yakni Desa Kuala Panduk, Teluk Binjai, Pulau Muda, dan Desa Segamai yang juga merasa terancam atas aktifitas PT RAPP di hutan dan lahan pertanian mereka. “Ratusan hektar lahan pertanian kami sudah diambil sepihak oleh perusahaan. Banyak program pertanian pemerintah yang seharusnya membantu ekonomi masyarakat gagal karena RAPP. Sekarang mereka buat bencana lebih besar mengambil hutan kami lebih dari itu. Sementara perusahaan tidak bisa memberi hak kompensasi,” pernyataan ini dilontarkan oleh tokoh masyarakat Teluk Meranti.
PT. RAPP selama ini memang disinyalir sebagai pelaku utama perusak hutan di Semenanjung Kampar yang kaya akan karbon. Padahal Semenanjung Kampar merupakan tempat yang wajib dilindungi untuk mencegah dampak bencana akibat perubahan iklim. Hutan di kawasan ini tinggal tersisa 400.000 hektar dari jumlah semula 700.000 hektar. Persoalan pembakaran liar yang melibatkan institusi lintas negara telah merugikan negara baik secara finansial dan lingkungan merupakan persoalan yang pantas juga dikaji dari sudut politik lingkungan. Persoalan yang sama dapat juga dilihat dalam kasus pencurian ikan, penjualan pasir dan penambang liar yang merupakan persoalan-persoalan politik lingkungan juga. Pembalakan liar (illegal logging) merupakan salah satu kasus politik lingkungan yang paling lengkap dan kompleks. Ekstraksi sumberdaya hutan ini melibatkan berbagai institusi dan perorangan dengan perilaku oportunistik yang luar biasa. Bahkan yang paling menarik adalah bahwa kegiatan pembalakan liar ini juga melibatkan pembuatan kebijakan dan keputusan politik di tingkat pemerintahan daerah yang dilakukan untuk menambah anggaran pendapatan daerah serta keuntungan pribadi perorangan dalam sistem pemerintahan daerah maupun institusi informal. Politik lingkungan cukup lengkap kasusnya di Indonesia di hampir semua sumberdaya alam dan politik yang terlibat di dalamnya.
Selain hal-hal tersebut di atas kasus disahkannya Perpu tentang ijin penambangan di hutan lindung terkesan menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji. Departemen kehutanan mengklaim bahwa hutan yang tidak rusak difungsikan sebagai hutan lindung, namun pihak departemen kehutanan sendiri di satu pihak tidak dalam kapasitas sebagai pengontrol. Pada saat yang sama, menurut departemen energi dan sumber daya mineral, lahan yang sama itu adalah lahan pertambangan. Jadi diklaim juga sebagai lahan yang layak untuk investasi di bidang pertambangan. Memang secara umum, hutan merupakan wewenang pemerintah dalam pengelolaannya, sedangkan departemen kehutanan dan juga departemen pertambangan merupakan juga pemerintah, ini tidak dapat dipungkiri adanya kepentingan dari masing-masing pihak dalam memahami fungsi hutan.
            Apabila melihat kasus-kasus di atas saat ini, masih banyak masyarakat Indonesia (bahkan masyarakat-masyarakat lokal yang berhubungan langsung dengan hutan) yang belum merasa menjadi korban lingkungan. Kalaupun ada yang menjadi korban lingkungan adalah mereka kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai daya tawar politiknya rendah seperti yang terjadi pada masyarakat teluk meranti yang memprjuangkan kelestarian hutannya. Sayangnya, pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah banyak yang belum menyadari bahwa kebijakan-kebijakan yang mereka buat mengenai hutan banyak yang tidak memandang hutan sebagai aset yang harus dilestarikan, akan tetapi mereka melihat hutan sebagai barang ekonomis yang layak untuk dieksploitasi tanpa adanya upaya untuk memperbaikinya, sehingga hal tersebut telah mengorbankan lingkungan yang akhirnya akan mengubur dirinya sendiri. Untuk memperkuat bargaining position bagi kelembagaan lingkungan, baik di pemerintahan maupun parlemen, kita harus menggunakan instrumen yang namanya social marketing, agar terjadi pemihakan yang besar. Selanjutnya, atau sebut saja yang kedua, harus dibentuk massa kritis di masyarakat yang menjadikan lingkungan sebagai daya tawar terhadap politisi, kasus ini bisa dibuktikan pada saat terjadi pemilihan kepala daerah secara langsung. Di sini masyarakat bisa menanyakan dan menguji komitmen lingkungan dari para calon kepala daerah tersebut. Oleh karena itu, salah satu terobosan yang mungkin terjadi adalah justru dari tingkat lokal. Dari politik lokal dan dari jaman dimana politik Indonesia itu ikut terdesentralisasi. Politik lokal harus bisa memainkan perannya secara optimal dan membangun aliansi dengan LSM  lokal.
Eksploitasi Ekonomi
            Kebijakan pembangunan hutan di Indonesia dimulai pada masa pemerintahan Soeharto, setelah mengalami keterpurukan ekonomi pada masa pemerintahan Soekarno melalui kebijakan ekonomi terpimpinnya akhirnya Soeharto mengaplikasikan paradigma pertumbuhan ekonomi,  teori pertumbuhan merupakan suatu bentuk teori modernisasi yang menggunakan metafora pertumbuhan, yakni tumbuh sebagai organismne. Teori the five stage scheme yang menjelaskan perubahan sosial terjadi dalam lima tahapan pembangunan ekonomi, tahap pertama adalah masyarakat tradisional kemudian berkembang menjadi prakondisi tinggal landas, kemudian masyarakat tinggal landas, masyarakat pematangan pertumbuhan hingga akhirnya mencapai tahapan masyarakat modern yang dicita-citakan, yakni masyarakat industri yang disebut sebagai masyarakat konsumsi massa tinggi. Teori tersebut merupakan teori pertumbuhan yang paling terkenal, teori ini dikemukakan oleh Rostow yang mengasumsikan bahwa semua masyarakat termasuk masyarakat Barat pernah mengalami masa tradisional dan akhirnya menjadi modern. Dalam teori ini sikap manusia tradisional dianggap sebagai masalah. Pembangunan akan berjalan secara otomatis melalui akumulasi modal (tabungan dan investasi) dengan tekanan bantuan dan hutang luar negeri. Rostow memfokuskan pada perlunya elite wiraswasta yang menjadi motor proses tersebut.
            Indonesia di bawah Pemerintahan Soeharto menjadi pelaksana teori pertumbuhan Rostow tersebut dan menjadikannya landasan pembangunan jangka panjang yang ditetapkan secara berkala untuk waktu lima tahunan, yang terkenal dengan Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Sektor kehutanan menjadi salah satu sasaran eksploitasi ekonomi oleh pemerintahan soeharto. Pemerintahan soeharto melalui persetujuan parlemen akhirnya mengeluarkan Undang-undang No. 1/1967 tentang modal asing, UU No.6/1967 tentang modal dalam negeri, UU No. 5/1967 tentang Undang-undang pokok kehutanan, dan Peraturan Pemerintah No. 1/1970 tentang mekanisme perizinan HPH. Kebijakan-kebijakan ini kemudian akhirnya menberikan sumbangan kerusakan hutan pada masa Orde Baru. Dalam pasal 1 (ayat 1) dari UU Prinsip Kehutanan, ditegaskan bahwa pemerintah mempunyai kewenangan untuk menentukan dan mengatur perencanaan dan pemakaian atas lahan kehutanan di dalam area hutan produksi. Kemudian di dalam pasal 13 juga tertulis bahwa pembangunan sektor kehutanan mengijinkan untuk menebang kayu log (gelondongan) dari hutan produksi untuk tujuan-tujuan ekonomi, untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia. Dari pernyataan ini perusahaan swasta, apakah dalam negeri dan transnasional diizinkan untuk mengoperasionalkan kegiatan usahanya di sektor kehutanan di Indonesia, yaitu dengan mendaftarkan perizinan usahanya di Departemen Kehakiman. Sehingga, banyak perusahaan transnasional yang kemudian membentuk Joint Operational dengan perusahaan swasta dalam negeri untuk mengoperasionalkan konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
            Apabila kita melihat kebijakan-kebijakan tersebut di atas, pemerintah pada masa itu menjadikan hutan sebagai penghasil ekonomi yang sangat layak untuk dieksploitasi dan menjadikan sektor kehutanan sebagai salah satu sumber pendapatan devisa terbesar bagi Indonesia pada saat itu. Namun sayangnya hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada masyarakat lokal di sekitar hutan itu sendiri, maraknya konflik lahan antara pengusaha swasta dengan masyarakat lokal setelah diberlakukannya HPH telah membuat keadaan perekonomian masyarakat lokal terpinggirkan. Sehingga hal ini, telah memaksa pemerintah untuk mengeluarkan PP No. 21 th. 1970 yang menekankan bahwa sebagian pendapatan dari sektor kehutanan akan dipakai untuk membangun infrastruktur masyarakat lokal, seperti jalan, transportasi baik sungai maupun darat, program-program pemukiman penduduk, dan peningkatan sosial ekonomi masyarakat. Meskipun pada kenyataanya hal ini tidak berjalan dengan baik, karena minimnya pengetahuan dari masyarakat lokal dan birokrat yang tidak pro terhadap masyarakat lokal.
            Dari paparan di atas terlihat jelas bahwa sistem konsesi HPH mempunyai pengaruh yang positif dan keuntungan bagi para pengusaha, khususnya para pengusaha yang mempunyai kedekatan dengan pemerintah. Di sisi lain, terlihat juga adanya kedekatan antara pemerintah dengan kelompok militer dalam penanganan sektor kehutanan, sehingga pada akhirnya hal ini dengan sendirinya telah menyebabkan terjadinya kolusi, korupsi dan nepotisme di Departemen Kehutanan dalam mendapatkan izin konsesi HPH. Sejalan dengan kondisi ini implementasi peraturan bagi yang melanggar mengalami kesulitan di lapangan dan akhirnya mengakibatkan eksploitasi ekonomi besar-besaran terhadap hutan tanpa adanya upaya untuk meredeforestasi hutan tersebut sehingga berujung pada kerusakan hutan secara cepat khususnya terjadi pada pulau-pulau di luar Jawa.
            Eksploitasi ekonomi terlihat sangat jelas dalam kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam pengelolaan hutan, eksplotasi secara besar-besaran yang akhirnya dihalalkan oleh pemerintah Indonesia atas nama pembangunan. Sumber daya alam dalam hal ini hutan beserta isinya dijadikan sebagai salah satu faktor produksi yang utama dalam pengumpulan modal yang sebesar-besarnya dan akhirnya kemudian para kapitalis(pemilik modal)lah yang menikmati semua keuntungan tanpa adanya upaya untuk memperbaiki apa yang telah dirusak dan diambil dan masyarakat di sekitar hutan pun yang seharusnya menikmati hasil hutan kemudian akhirnya menjadi termarjinalisasi, salah satunya dengan pelabelan mereka sebagai ‘perambah’ hutan.
Sebuah Catatan
Pengaruh anggapan log (kayu gelondongan) dari pandangan politik lingkungan yang memfokuskan pada tiga kata kunci, yakni isu politik, ekonomi dan lingkungan. Pengaruh positif yang sangat besar dilihat dari perspektif ekonomi politik. Seperti yang telah diuraikan di atas pemerintahan pada masa Orde Baru menjadi pemerintahan yang paling sukses dalam menarik banyak investor baik yang berasal dari perusahaan domestik maupun perusahaan transnasional untuk menanamkan modalnya di Indonesia dalam sektor kehutanan. Sedangkan pengaruh negatif yang sangat besar ada pada masalah isu lingkungan, hal ini terjadi karena penebangan kayu yang berlebihan di berbagai wilayah hutan di Indonesia yang akhirnya menimbulkan kerusakan hutan yang sangat mengkhawatirkan.
Perdebatan yang terjadi persoalan lingkungan dianggap sebagai persoalan ekonomi politik, pemerintah, kelembagaan, tata kelola, kewenangan, kekuasaan, norma, ideologi, kebijakan dan pasar maupun persoalan sosial budaya tergantung bagaimana kita melihatnya. Definisi ruang lingkup dan batasan politik lingkungan sering dianggap tidak jelas. Namun, pada umumnya politik lingkungan dianggap merupakan domain bidang politik. Di dalam banyak buku ekonomi, persoalan lingkungan dianggap sebagai akibat dari tingkah laku ekonomi dan pasar. Perilaku ekonomi perorangan atau institusi (organisasi) dianggap menentukan jenis penguasaan atas sumberdaya alam dengan ekternalitas pada lingkungan.
Pada banyak kasus kerusakan hutan di Indonesia diyakini banyak aktor yang berperan dalam kerusakan hutan, tidak hanya aktor dalam negeri saja tetapi juga melibatkan aktor-aktor transnasional diantaranya lembaga-lembaga keuangan seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF). Lembaga-lembaga tersebut diyakini berperan secara tidak langsung dalam perusakan hutan, peran-peran tersebut biasanya diwujudkan dalam proyek-proyek sektor pembangunan di Indonesia seperti yang dilakukan oleh Bank Dunia yang mendanai adanya transmigrasi masyarakat Indonesia. Pada awalnya transmigrasi dinilai memberikan hasil yang positif karena mengurangi penduduk pada daerah perkotaan yang padat, namun pada kenyataannya banyak ahli lingkungan yang meyakini bahwa transmigrasi ternyata memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan khususnya hutan karena banyak transmigran yang ditempatkan pada hutan-hutan tropis yang pada akhirnya karena buruknya koordinasi antara masyarakat transmigran dengan pemerintah pada akhirnya hutan juga yang menjadi korbannya. Para transmigran membuka lahan baik itu untuk tempat tinggal maupun untuk areal pertanian melalui pembakaran hutan.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan hutan tropis yang cukup besar, saat ini dikhawatirkan oleh berbagai kalangan akan mengalami penurunan lahan hutan yang cukup drastis akibat perusakan hutan dalam skala besar secara terus menerus. Menurut Lemabaga Swadaya Masyarakat (LSM ) seperti Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan APHI, area kerusakan hutan di Indonesia mencapai 300.000 Ha pada tahun 1970an dan meningkat menjadi 800.000 Ha pada tahun 1980an kemudian pada tahu 1990an meningkat dengan pesat menjadi 1,5-2,0 juta Ha. Kerusakan hutan ini pun diyakini karena buruknya pengawasan pemerintah terhadap para pengusaha yang memegang ijin HPH, diperburuk dengan banyaknya pengelolaan hutan secara ilegal. Selain itu, kolusi antara pemilik konsesi HPH dengan dengan aparat pengawas kehutanan baik pada tingkatan pusat maupun tingkatan daerah terjadi kurangnya sanksi yang tegas dan penegakan hukum bagi pelanggar peraturan mengenai kehutanan. Seperti, para pengusaha HPH yang melanggar sistem Tebang Pilih Tanan Indonesia (TPTI) dan juga dana reboisasi yang dimanipulasi dan digunakan untuk di luar sektor kehutanan.
Pada akhirnya Indonesia harus memperjuangkan kepentingan politik lingkungannya pada dunia internasional dalam konfrensi lingkungan yang diadakan di Kopenhagen Jerman, di antaranya Indonesia harus memastikan komitmen negara maju dalam kesepakatan konferensi sebelumnya. Kepentingan politik lingkungan yang juga harus diperjuangkan Indonesia adalah tidak ada negara yang memiliki hegemoni kuat dalam isu lingkungan. Dalam usaha pemulihan lingkungan seperti jual beli karbon, negara berkembang yang notabene merupakan paru-paru dunia dan negara maju yang memiliki uang untuk membiayai konversi memiliki bargaining power yang sama. Dengan demikian, akan sulit untuk saling menguasai. Oleh karena itu, Indonesia harus mampu melihat peluang tersebut. Indonesia memiliki hutan untuk dikonversi atau diperbaiki, berarti Indonesia memiliki bargaining power yang kuat dalam jual beli karbon baik dilihat dari segi lingkungan maupun dari segi ekonomi.

Daftar Pustaka
Dietz, ton, Pengakuan Hak atas Sumber Daya Alam Kontur Geografi Lingkungan Politik, Insist Press, Yogyakarta, 1994.
Hidayat, Herman, Politik Lingkungan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2008.


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites