Rabu, 09 September 2015

PERAN PEREMPUAN DALAM ERA OTONOMI DAERAH

Otonomi daerah sebagai perwujudan dari desentralisasi telah memberikan perubahan yang cukup positif pada penguatan peran Pemerintah Daerah. Akan tetapi, penguatan peran pada beberapa daerah tidak diikuti oleh penguatan peran perempuan pada daerah tersebut. Melalui UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women) atau biasa disingkat CEDAW melalui telah terlihat upaya dari pemerintah pusat untuk menghapuskan persoalan diskriminasi perempuan dalam berbagai ranah kehidupan. Upaya ini juga ditunjukkan dengan melahirkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang kebijakan pengarusutamaan gender. Akan tetapi jika hal itu tidak diiringi dengan perubahan paradigma berpikir masyarakat yang didominasi oleh cara berpikir “laki-laki”, maka kebijakan dan ratifikasi konvensi itu tinggallah menjadi catatan usang yang tidak mampu membuat perubahan sosial ke arah yang lebih baik dan lebih adil bagi sesama manusia. Pada umumnya peran perempuan dalam kehidupan social,ekonomi, politik dan kebijakan publik dalam ranah politik lokal masih banyak diwujudkan dengan menggunakan bahasa, pemikiran, dan kebudayaan yang maskulin, sebagai representasi dari budaya patriarki yang masih sangat melekat pada sebagian besar masyarakat di wilayah Indonesia. Dalam berbagai teks tertulis yang ada di beberapa daerah memang telah menunjukkan adanya upaya untuk melakukan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Akan tetapi, dalam implementasinya seringsekali kebijakan tersebut tidak seiring sejalan dengan apa yang telah tertulis. Belum lagi adanya Perda yang mengatur bagaimana seorang perempuan harus berpakaian seperti Perda No. 4 Tahun 2002 tentang Pakaian Dinas Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang mengatur bagaimana perempuan terutama PNS dan pelajar harus berpakaian. Dalam sebagian besar Perda-Perda yang berkaitan dengan partisipasi perempuan dalam politik dan kebijakan publik lokal dalam politik lokal bersifat netral gender. Dengan demikian, tidak serta merta perempuan dapat secara langsung duduk dalam wilayah publik, sebab sifat netral gender itu bukan berarti bebas nilai. Hal ini bahkan, terkait erat dengan nilai-nilai sosial budaya yang melingkupinya. Penyebabnya tidak lain karena adanya hegemoni patriarkal yang membidani lahirnya interpretasi bahasa yang bersifat maskulin. Keadaan ini yang menunjukkan bahwa Perda berikut keputusan para pengambil kebijakan di dalam politik lokal didominasi oleh bahasa maskulin sehingga kurang mampu mengakomodir kepentingan perempuan. Oleh karena itu, tidak mengagetkan apabila perempuan yang duduk dalam politik formal di daerah tidak terlalu merepresentasikan kebutuhan perempuan itu sendiri. Selain itu, adanya kecenderungan menguatnya kekuasan pada tingkat lokal yang mengabaikan berbagai kepentingan perempuan bukannya tidak beralasan. Seperti Hal itu dapat dilihat dengan munculnya sejumlah isu perempuan di daerah yang cenderung mendiskriminasikan perempuan. Isu kepemimpinan perempuan, jilbab dan pemisahan ruang publik berdasarkan gender, perempuan dan kesusilaan, perempuan dan tenaga kerja, perempuan dan pendapatan daerah, perempuan dan APBD, perempuan dan sumber daya alam, perempuan dan kesehatan reproduksi, perempuan dan adat, serta perempuan dan peraturan kepegawaian. Isu tersebut menunjukkan bahwa Perda-Perda berikut kebijakan publik yang diambil oleh para pengambil kebijakan di tingkat lokal belum sepenuhnya “ramah” terhadap kepentingan perempuan. Hal itu diperburuk oleh kuatnya hegemoni patriarkal yang ssangat mengakar di Indonesia dan pada akhirnya mengemuka dalam nilai-nilai budaya local dan pada akhirnya cenderung menutup ruang publik perempuan dalam politik lokal. Upaya yang dilakukan untuk mencari penyelesaian persoalan diskriminasi perempuan melalui pembuatan peraturan hukum merupakan ruang yang harus diisi oleh pegiat kesetaraan gender agar tercipta kesetaraan gender dan tidak kembali ke arah praktik yang merugikan perempuan. Oleh karena itu, dekonstruksi atas teks berikut interpretasi Perda yang hidup dalam hegemoni budaya patriarkal merupakan kebutuhan mendesak yang harus segera dilakukan. Sehingga ia mampu mengakomodir kebutuhan dan kepentingan perempuan dan laki-laki sesuai dengan kondisi dan posisi yang dihadapi. Hal itu dapat diinterpretasikan bahwa ketika suatu kebijakan akan dibuat dalam hal ini Perda, perlu dipahami bahwa cara berada, berpikir, dan bahasa perempuan dianggap akan menutup kemungkinan terjadinya keterbukaan, pluralitas, dan perbedaan dengan laki-laki. Artinya, jika dalam konteks kekinian bahasa perempuan yang tidak muncul dalam teks berikut interpretasi teks atas Perda harus diperjuangkan, maka menjadi sebuah “kewajiban” berbagai pihak yang terlibat di dalamnya untuk memiliki political will menghadirkan hal itu. Jika hal itu mampu diwujudkan, bukan hanya perempuan saja yang diuntungkan, akan tetapi semua pihak akan mendapatkan manfaat. Meskipun demikian, seperti yang telah disebutkan diatas tercatat adanya perubahan yang berarti dalam beberapa teks peraturan daerah, yakni tercantumnya permasalahan gender yang belum pernah tercantum sebelumnya. Masalah ini bisa dikenali tentunya karena usaha-usaha untuk mengenali persoalan diskriminasi terhadap perempuan dan jawaban pemerintah Indonesia melalui peraturan perundang-undangan seperti UU No. 7 Tahun 1984 hingga Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000. Akan tetapi pencantuman masalah ini adalah satu langkah yang menjadi pendahulu langkah-langkah berikutnya yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan untuk menjawab permasalahan secara nyata. Membuat rumusan kebijakan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan adalah upaya satu tahap. Langkah berikut yang harus dilakukan adalah membuat kebijakan operasional agar secara berangsur-angsur kebijakan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dapat dilaksanakan. Sayangnya, identifikasi isu gender ini kemudian ada yang diturunkan dalam bentuk kebijakan yang tidak sesuai. Program yang menjadi prioritas Pemerintah Gianyar dalam bidang gender, misalnya, berbentuk kegiatan pembinaan kesejahteraan keluarga dan pembinaan peranan wanita. Pemerintah Gianyar tidak mungkin menyelesaikan persoalan hambatan sosial budaya jika hanya membuat kebijakan yang tetap bersandar pada asumsi untuk menguatkan peran domestik perempuan. Untuk mengatasi hambatan yang ada, pemerintah Gianyar seharusnya membuka ruang lain bagi perempuan, bukan dengan jalan menguatkan domestikasi perempuan tetapi berusaha menciptakan peran baru bagi perempuan dengan menyadari dan menimbang peran perempuan sebagai pekerja dan sebagai anggota yang berperan aktif menentukan kelangsungan komunitas. Asumsi bahwa perempuan identik dengan dunia domestik merupakan wacana yang mendasari penolakan terhadap ide partisipasi aktif perempuan dalam kehidupan publik. Hal yang sama juga terjadi pada perumusan kebijakan konkrit pemerintah NAD, yang mengalokasikan dana untuk membeli peralatan masak atau menjahit dalam program pemberdayaan perempuan. Peran perempuan yang diisolir dalam sektor domestik merupakan produk wacana maskulin dalam struktur politik formal, penentu kebijakan di tingkat pemerintah daerah. Pencantuman identifikasi masalah gender tidak diikuti dengan perubahan cara pandang terhadap masalah gender itu sendiri, yang terletak pada definisi peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Pengertian peran ini juga diperkuat oleh interpretasi atas agama dan budaya yang dilakukan oleh pengambil kebijakan. Kalaupun teks peraturan daerah yang dibuat sebenarnya netral gender, pelaksanaan yang mengakibatkan perubahan peran perempuan mengundang penolakan. Salah satu contohnya seperti yang terjadi di Tasikmalaya pada tahun 2001, saat lima orang camat perempuan terpilih, anggota DPRD menolak dengan alasan pemimpin perempuan tidak sesuai dengan visi Islami yang telah ditetapkan oleh daerah Tasikmalaya. Penolakan ini menimbulkan reaksi dari tokoh-tokoh perempuan yang menolak menerima interpretasi visi Islami yang demikian. Peraturan daerah yang ada pada dirinya sendiri tidak membatasi peran perempuan dalam politik, akan tetapi interpretasi atas peraturan tersebut menjadi ruang perdebatan antara wacana maskulin dan wacana feminin. Dominasi wacana maskulin dalam institusi politik dan budaya perlu diintervensi agar nilai-nilai wacana feminin dapat diakomodir oleh institusi tersebut, salah satunya melalui pembuatan peraturan tertulis yang dengan tegas mencantumkan prinsip anti-diskriminasi, maupun dengan pembuatan kebijakan affirmative action. Seperti yang dikemukakan oleh Irigaray, bahwa suatu tatanan dapat terlihat bukan saja dari apa yang mengemuka, tapi juga dari apa yang tak dikemukakannya. Partisipasi politik perempuan misalnya, tidak dirumuskan dan tercantum dalam peraturan daerah karena belum dianggap penting atau mendesak bagi kelangsungan pemerintahan daerah. Hal ini mengemuka sebagai permasalahan, akan tetapi tidak diikuti dengan pembuatan peraturan daerah untuk mengatasinya. Maskulinitas wacana institusi pemerintahan daerah juga terlihat melalui representasi perempuan yang dilakukan dalam peraturan daerah yang dibuat. Jumlah perempuan yang sangat sedikit dalam struktur politik formal yang akan melakukan pengambilan keputusan publik membuat representasi perempuan pun berlangsung tanpa bisa diakses oleh perempuan sendiri. Terdapat beberapa isu dari berbagai Perda yang ada, yang dapat menggambarkan representasi perempuan dalam Perda dari beberapa daerah, diantaranya, Pertama, Tolok ukur nilai dalam sebuah komunitas. Peraturan penggunaan jilbab atau pemisahan ruang publik diterapkan sebagai tolok ukur pelaksanaan visi Islami atau Syariah Islam seperti yang terjadi di Tasikmalaya dan NAD. Aturan tampilan publik yang berubah sesuai dengan penerapan nilai Islam dalam peraturan daerah hanya mencantumkan perubahan untuk penampilan perempuan, sedangkan untuk laki-laki tidak dicantumkan sama sekali. Norma sosial masyarakat yang direpresentasikan melalui cara berpakaian hanya diberlakukan pada satu kelompok dengan jenis kelamin tertentu tanpa berkonsekwensi kepada kelompok jenis kelamin yang lainnya. Hal lain yaitu ketika norma kesusilaan dilanggar seperti dalam kasus pekerja seks dan konsumennya, maka judul berita di media massa mengacu pada pekerja seks perempuan. Yang menjadi sasaran amuk massa adalah si perempuan pekerja seks sementara lelaki konsumen bisa bebas dari amuk tersebut. Kedua, peran domestic perempuan, seperti Ibu sebagai pekerja domestik dalam keluarga. Representasi perempuan sebagai ibu yang hanya memelihara dan melakukan kegiatan rumah tangga adalah representasi dominan yang muncul dalam teks peraturan daerah dan penganggaran. Jika perempuan dilibatkan dalam sebuah organisasi kerja di daerah, maka seringkali perannya adalah sebagai Sekretaris (tukang catat atau pembuat surat), seksi Konsumsi atau sebagai bagian Kesejahteraan Sosial. Kegiatan yang dinyatakan sebagai ‘pemberdayaan perempuan’ adalah penyuluhan tentang kesejahteraan keluarga dan pelajaran keterampilan memasak atau jahit menjahit. Program pemberdayan perempuan yang didanai oleh pemerintah dalam APBD hanya kegiatan PKK. Sementara representasi peran biologis perempuan sebagai ibu tidak direpresentasikan dalam kebijakan kesehatan reproduksi yang memadai. Misalnya, terdapat daerah yang memiliki angka kematian ibu yang sangat tinggi, akan tetapi tidak membuat Perda khusus untuk mencegah atau menanggulangi keadaan tersebut. Kegiatan perempuan yang dilakukan di ruang publik seperti bekerja dan berdagang yang memberikan kontribusi pada perekonomian daerah tidak direpresentasikan dalam berbagai Perda yang berdampak pada perempuan. Salah satu contoh adalah kebisuan Perda kota Mataram terhadap isu buruh migran perempuan yang menjadi korban kekerasan. Perda yang dihasilkan kota Mataram berkisar pada masalah menjadikan buruh migran sebagai sumber pendapatan daerah, akan tetapi tidak memberikan upaya pencegahan dan perlindungan buruh migran dari kekerasan (penelitian WRI 2001). Representasi perempuan dalam perda tidak jauh bergeser dari representasi perempuan dalam GBHN 1978 dan 1984 seperti yang telah dibahas dalam Bab 2 dan Bab 3. Tatanan politik yang baru ternyata tetap membuat perempuan kesulitan mendapatkan saluran untuk menjalankan kepentingannya. Kepentingan perempuan tidak terwadahi dalam tatanan yang maskulin karena permasalahan perempuan tidak tampak dalam sistem wacana maskulin. Jikapun perempuan mendapatkan akses ke dalam struktur tatanan politik, ia kesulitan mendefinisikan permasalahan perempuan dalam sistem bahasa maskulin. Misalnya dalam kasus walikota Sukabumi, Hj. Molly mampu mengidentifikasi tingginya Angka Kematian Ibu sebagai masalah mendesak daerahnya. Akan tetapi ia tidak memiliki perangkat yang mendukung untuk mengangkat persoalan ini menjadi peraturan daerah sehingga tetap tidak menjadi prioritas dalam penanganannya dalam program pemerintahan Sukabumi. Partisipasi perempuan dalam politik terhambat oleh budaya yang mendefinisikan perempuan dalam pembagian kerja tradisional sebagai ibu sekaligus pekerja domestik. Padahal kenyataan bahwa perempuan adalah juga pekerja di ruang publik bukanlah hal yang asing bagi tiap budaya. Hambatan bagi partisipasi perempuan juga terjadi karena pada peraturan daerah tidak tercantum dengan jelas perlunya perempuan mengisi jabatan-jabatan publik. Sebagian besar peraturan masih menggunakan definisi perempuan sebelum adanya peraturan yang menyatakan pentingnya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan pengarusutamaan gender. Bahkan sebuah Perda di Sukabumi mendefinisikan gender sebagai “peran serta wanita dalam pembangunan”. Definisi yang mengakibatkan beban ganda bagi perempuan tersebut sudah lama dikritik oleh penggiat masalah keadilan gender diberbagai daerah dan negara. Nilai-nilai lama yang bertahan dalam tatanan politik dan pengambil keputusan membuat peran perempuan dalam ranah publik sangat sedikit diakui dan perempuan tetap dalam posisi termarginalisasi dalam arena politik formal dan pengambilan keputusan. Melihat berbagai persoalan di atas dibutuhkan adanya Pelatihan sensitivitas gender bagi para pengambil kebijakan di tingkat pemerintah lokal secara berkesinambungan sehingga isu-isu seputar: kepemimpinan perempuan, jilbab dan pemisahan ruang publik berdasarkan gender, perempuan dan kesusilaan, perempuan dan tenaga kerja, perempuan dan pendapatan daerah, perempuan dan APBD, perempuan dan sumber daya alam, perempuan dan kesehatan reproduksi, perempuan dan adat, berikut perempuan dan peraturan kepegawaian dapat ditata ulang untuk menghadirkan Perda dan Kebijakan Publik Lokal yang sensitif gender. Sehingga, secara khusus isu APBD juga harus ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah daerah, sehingga menghasilkan APBD yang sensitif gender, terutama pengalokasian anggaran yang berkaitan dengan retribusi, kesehatan reproduksi, pemberdayaan perempuan, perempuan dan kerja serta pendidikan. Daftar Pustaka Gaffar, Afan, dkk, 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Noerdin, Edriana, Dkk, 2005, Representasi Perempuan Dalam Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah,WRI, Jakarta. Noor Isran, 2012, Politik Otonomi Daerah Untuk Penguatan NKRI, diakses di WWW.isrannoor-otoda.com pada hari senin 24 Juni 2012, Jam 10.39. Noor Isran, 2012, Isran Noor dalam Perspektif Media, diakses di WWW.isrannoor-otoda.com pada hari senin 24 Juni 2012, Jam 10.39.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites